Sabtu, 01 Maret 2008

Ngasem Kota Minyak

Map Ngasem City

Siapa sangka, Bojonegoro, daerah miskin keempat dari kategori jumlah penduduknya di Jawa Timur (data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur tahun 2004), akan menjadi daerah yang diharapkan oleh negara ini. Dua lapangan yang ada di Desa Mojodelik, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro, memiliki sumber minyak dan gas hingga 734 juta barrel setara minyak.

Dua lapangan minyak dan gas (migas) itu pula yang akan menjadi tumpuan masyarakat Bojonegoro untuk mengubah kehidupan mereka yang terimpit dalam keterbatasan.

Jangan membayangkan Bojonegoro, daerah berjarak lebih dari 200 kilometer ke arah barat dari ibu kota Provinsi Jawa Timur, Surabaya, terlalu berlebihan. Kota Bojonegoro yang berpenduduk 1,2 juta jiwa hanyalah sebuah kota minim fasilitas. Cukuplah dengan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan fasilitas pendidikan berupa sekolah mulai dari taman kanak-kanak hingga dua perguruan tinggi.

Fasilitas perhubungan berupa sebuah stasiun dan terminal, namun minim armada. Sebagai gambaran, tidak ada bus antarkota dari Terminal Purabaya di Surabaya menuju Terminal Rajakwesi di Bojonegoro. Jika hendak ke Bojonegoro dari Terminal Purabaya, penumpang bus harus turun di Kecamatan Babad, Kabupaten Lamongan. Kalau ingin langsung menuju Bojonegoro, penumpang harus naik angkutan umum terlebih dahulu menuju Terminal Osowilangun, daerah perbatasan Gresik dan Surabaya.

Tidak ada pusat perdagangan atau mal, apalagi gedung bioskop. Hanya berupa pasar besar tradisional, yakni Pasar Kota Bojonegoro. Hiburan warga hanyalah warung-warung lesehan yang terletak di sekitar alun-alun kota dan depot-depot berornamen kafe. Sejumlah hotel dibangun dengan fasilitas seadanya.

Bojonegoro, daerah dengan luas wilayah lebih dari 2.000 kilometer persegi, diimpit tujuh kabupaten, yakni Madiun, Nganjuk, dan Jombang di sebelah selatan, Tuban di sebelah utara, Lamongan di sebelah timur, dan sebelah barat Kabupaten Ngawi berbatasan dengan Kabupaten Blora, Jawa Tengah, membuat daerah tersebut jarang disinggahi.

Orang lebih senang menggunakan akses jalur pantai utara, yakni dari Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban lalu masuk Rembang, Jawa Tengah, atau jalur selatan, yakni dari Surabaya-Mojokerto-Jombang-Kertosono-Nganjuk-Ngawi dan masuk ke Sragen, Jawa Tengah. Tak heran jika daerah ini jarang dilirik investor karena dianggap tidak memiliki nilai jual. Hal itu dibuktikan dari nihilnya investor asing maupun domestik yang menanamkan investasinya pada tahun 2003 dan 2004.

Nilai jual kekayaan alam dari Bojonegoro terbatas pada tanaman pertanian berupa beras dan tanaman perkebunan, yakni tembakau, dan hasil hutan berupa kayu jati. Sebagian besar penduduknya bermata pencarian sebagai petani, pedagang, dan bekerja di sektor bangunan. Hanya 1.903 orang bekerja di sektor pertambangan bahan galian.

Infrastrukturnya jauh dari kondisi baik. Jalan dari Bojonegoro menuju Cepu, Kabupaten Blora, lebih kurang 37 kilometer, paling cepat dapat ditempuh dalam waktu satu seperempat jam. Jalan dengan lebar tujuh meter dan bergelombang ini dilewati bus, truk, dan kendaraan lainnya baik dari arah timur maupun arah barat. Tak heran jika jalur itu rawan kecelakaan.

Penduduk Bojonegoro sangat berharap atas hasil migas yang ditambang di dua lapangan yang ada. Terlebih, minyak yang ditambang dari Lapangan Banyu Urip sebesar 170.000 barrel per hari dapat memberikan penghasilan 9,2 juta dollar AS per hari (asumsi harga minyak 60 dollar AS per barrel) bagi negara, dapat mengembangkan ekonomi daerah 1,5 kali hingga empat kali lipat, dan diperkirakan dapat memperbaiki iklim investasi di Indonesia dengan nilai hingga 1 miliar dollar AS.

Melihat nilai besar itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro optimistis, Banyu Urip dan Jambaran diharapkan memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Rp 2 triliun tahun 2008-2009. Adapun PAD Kabupaten Bojonegoro tahun 2005 sekitar Rp 33 miliar dan target PAD tahun 2006 sekitar Rp 39 miliar.

Mulai berbenah

Berbagai persiapan menyambut kedatangan investor dilakukan di tengah keterbatasan. Bojonegroro pun mulai bebenah. Sebuah rumah sakit umum daerah tipe B berkapasitas 308 tempat tidur dibangun atas kerja sama dengan investor dalam negeri pada tahun ini. Sebuah pusat perdagangan untuk kelas menengah ke atas dipersiapkan atas bantuan investor domestik.

Jalan lintas selatan yang terbentang dari Kecamatan Baureno, Bojonegoro, hingga ke Padangan, yakni perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, dengan panjang mencapai 112 kilometer akan dibangun. "Namun masih menunggu investor. Saat ini investornya masih PT Sambo Engineering Indonesia dari Korea," ujar Kepala Subdinas Pemberitaan dan Media Informasi Pemerintah Kabupaten Bojonegoro Johny Nurhariyanto.

Mustahil bagi Pemkab Bojonegoro mempersiapkan semua kebutuhan dalam waktu bersamaan. Kebutuhan sepenting perbaikan infrastruktur jalan dan pelatihan kerja bagi warga sekitar lokasi tambang tidak mampu diusahakan karena minimnya anggaran daerah.

"Kami membuka kesempatan kepada pihak mana pun yang mau memfasilitasi pelatihan bagi warga sekitar tambang," kata Bupati Bojonegoro M Santoso.

Ironis

Ironis memang, daerah yang kaya minyak tetapi diimpit keterbatasan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2006 sebesar Rp 600 miliar, sebagian besar masih dialokasikan untuk membayar gaji pegawainya. Biaya untuk membangun daerah lebih difokuskan pada sekolah yang rusak dan perbaikan jalan, yang mencapai Rp 160 miliar. Warga sekitar tambang sangat menyadari bahwa harapan tak semulus kenyataan. Banyak pelajaran yang terjadi di negara ini terkait dengan eksploitasi hasil tambang. Kendati berbeda status pengusahaannya, kasus PT Freeport Indonesia di Papua cukup menjadi cermin ketraumaan masyarakat sekitar lokasi tambang.

Senin (20/3) lalu sekitar 200 warga, perwakilan dari 13 desa di Kecamatan Kalitidu dan Ngasem, Bojonegoro, berunjuk rasa. "Kami tidak mau kasus PT Freeport terulang di Bojonegoro. Karena itu, kami mengharapkan agar detik ini pemerintah dan pengelola Blok Cepu mau mendengarkan harapan warga sekitar Banyu Urip," kata Ketua Serikat Pemuda Banyu Urip Moh Kharis saat melakukan unjuk rasa di jalan masuk lokasi Lapangan Banyu Urip dan Jambaran.

Harapan warga tidaklah jauh dari sebuah perubahan. Perubahan atas nasib mereka yang kini jauh dari kesejahteraan. Setidaknya mengakhiri getirnya hidup yang hanya sebagai buruh petani, demikian kata Sumarni (41), warga sekitar lokasi tambang yang bekerja sebagai buruh petani.

Mereka semua sepakat, ingin mengusap getirnya hidup dari tetesan minyak Blok Cepu.


0 komentar:

  © Yanto Cah Garas Ngasem by ngasem-bojonegoro.blogspot.com 2007

Back to TOP