Rabu, 23 Juli 2008

Pengelolaan Hutan Jati oleh Masyarakat

Pengelolaan hutan Indonesia sebenarnya dulu merujuk pada sistem warisan Pemerintah Kolonial. Sistem pengelolaan warisan itu (yang semula dikembangkan untuk hutan jati di Jawa), lebih untuk menghasilkan keuntungan bagi negara dari penjualan hasil kayu. Hal tersebut, pada satu sisi, menjadikan pemerintah memiliki wewenag besar dalam mengatur dan mengendalikan pemanfaatan hutan. Hanya pihak-pihak yang diberikan izin oleh pemerintah boleh memasuki dan memanfaatkan hasil hutan. Biasanya, pihak-pihak tersebut terbatas pada perusahaan swasta atau perusahaan negara.

Pada sisi lain, masyarakat menganggap hutan merupakan kekayaan bersama bangsa ini. Dengan demikian, masyarakat seharusnya dapat ikut memanfaatkan hutan secara langsung. Lebih jauh, masyarakat seharusnya mempunyai hak untuk ikut terlibat dalam pengelolaan hutan. Apalagi, jika mereka memang tinggal di dalam atau sekitar hutan, sehingga kehidupan mereka bersinggungan langsung dengan (bahkan tak terpisahkan dari) keberadaan hutan.

UU No. 41/1999 tentang Kehutanan adalah salah satu upaya untuk memperbaiki sistem lama pengelolaan hutan di Indonesia. Masyarakat dinyatakan mempunyai hak, bahkan kewajiban, yang lebih besar untuk terlibat dalam pengelolaan hutan.

Dengan ketentuan dari UU itu, dan dengan melihat pengalaman sebelumnya, Perhutani memperkenalkan PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) pada 2002. Di bawah model PHMB, Perhutani akan bekerja sama dengan masyarakat hutan dalam mengelola hutan: sejak merencanakan kegiatan pengelolaan hingga memanfaatkan hasil hutan. Jika ikut memiliki dan mengurus suatu lahan hutan, masyarakat tentu lebih terdorong untuk mengawasi keberlangsungan hidup hutan. Perhutani menyatakan bahwa sejumlah daerah telah ikut serta dalam sistem pengelolaan ini. Contoh penerapan PHBM yang berhasil, menurut Perhutani, dapat dilihat di daerah Blora.

Namun, ada pula contoh dari pengembangan pohon jati secara mandiri di luar kawasan hutan Perhutani oleh masyarakat. Pada 2005, CIFOR (sebuah badan peneliti kehutanan internasional) melakukan survei di sekitar setengah jumlah kabupaten yang ada di Pulau Jawa. Survei memperlihatkan minat tinggi masyarakat untuk mengembangkan kebun jati rakyat. Meskipun masa panen jati tahunan, masyarakat bersedia menanam jenis pohon ini karena menganggapnya sebagai bentuk simpanan untuk masa depan. Masyarakat Jawa memang sudah lama mengenal jati dan menghargainya dengan tinggi.

Usia kebun jati rakyat yang disurvei oleh CIFOR ini berkisar antara enam bulan dan 40 tahun. Di sekitar setengah dari jumlah lokasi survei, sebagian besar pepohonan jati ditanam setelah 1998, ketika Departemen Kehutanan membagi-bagikan anakan pohon jati secara gratis.

0 komentar:

  © Yanto Cah Garas Ngasem by ngasem-bojonegoro.blogspot.com 2007

Back to TOP