Selasa, 16 Desember 2008

Habis Moral, Terbitlah Anarki

BERITA: Fata Atqia, Kontributor INILAH.COM

NILAH,COM, Jakarta – Ada pikiran menarik yang terlontar dari sejarawan Anhar Gonggong. Demokrasi Indonesia yang dibangun pada era reformasi ini, kata dia, ditengarai mengarah kepada kekacauan. Kekacauan itu disebabkan lunturnya etika kalangan elit politik di DPR maupun aparat pemerintah di sejumlah instansi.

Miskinnya etika dan moralitas itulah yang ditengarai Anhar menjadi sumber kasus-kasus memalukan, seperti penyuapan – baik dengan uang maupun perempuan – kepada jajaran penegak hukum di pengadilan, kepolisian dan kejaksaan, serta hampir semua lembaga kenegaraan lainnya.

Belum lagi korupsi yang – berdasarkan data terakhir – ternyata menunjukkan tidak ada satu provinsi pun di Indonesia yang luput dari perbuatan bejat dan melecehkan kepentingan rakyat banyak itu.

Melihat fenomena tersebut, muncul pertanyaan tidakkah usia kemerdekaan yang sudah 63 tahun itu masih belum mampu memperlihatkan jalan terbaik menuju kesejahteraan dan kehidupan bangsa yang tertata? Tentu sulit untuk menjawab pertanyaan ini. Namun yang jelas, tampaknya ada yang terlupakan sementara kita mengarungi kehidupan berbangsa dan bernegara ini, yaitu pendidikan.

Enam puluh tiga tahun bangsa kita merdeka, rasanya tidak juga membawa masyarakat lebih mudah memperoleh pendidikan yang baik dan murah. Lima tahun terakhir ini, bahkan dengan gampang kita melihat betapa banyak anak kaum miskin, termasuk mereka yang baru dalam usia sekolah dasar, bunuh diri karena persoalan biaya pendidikan. Niat luhur mereka untuk meneruskan sekolah terbentur beton kokoh mahalnya biaya pendidikan.

Tengoklah perguruan-perguruan tinggi kita. Saat ini mungkin hanya lembaga pendidikan kelas kambing yang masih terjangkau kalangan menengah bawah. Di luar itu, kita dibuat terhenyak oleh biaya kuliah yang mencapai puluhan, bahkan ratusan juta rupiah. Dengan biaya setinggi itu, wajar bila anak kaum miskin lulusan SMA yang paling cerdas pun, hanya bisa melihat kegelapan sebagai peluang dan masa depannya.

Terlalu gampang untuk menunjuk negara sebagai kambing hitam dari persoalan ini. Negara akan berkilah tentang terbatasnya anggaran yang dimiliki, dan karena itu seiring terbukanya dunia, pemerintah menyilakan semua perguruan tinggi berlomba.

Di tingkat pendidikan dasar dan menengah, negara pun tidak malu untuk terus menunda pelaksanaan anggaran 20% untuk dunia pendidikan. Sesuatu yang sebenarnya telah digariskan sebagai aturan legislatif sejak bertahun lalu.

Subsidi yang dikerat besar-besaran itu akhirnya memaksa perguruan tinggi menjelma jadi entitas bisnis. Sikap mereka pun kontan berubah: mengutamakan siapa pun yang mampu membayar. Mereka yang tidak mampu, silakan minggir dan tahu diri.

Inilah yang terjadi di negara kita. Padahal, dengan semakin sedikitnya warga yang tercerahkan pendidikan, peluang ke arah demokratisasi pun sebenarnya makin menjauh.

Persoalannya, demokrasi tidak hanya tergantung pada para pemimpin bangsa. Meski elit pimpinan didominasi para lulusan universitas terbaik dunia, sampai taraf tertentu kualitas demokrasi bergantung pada kematangan rakyat untuk saling menghargai.

Demokrasi hampir mustahil terwujud dalam masyarakat yang warganya tidak mengenal kompromi, masyarakat di mana perbedaan pendapat yang ada lebih disukai untuk diselesaikan melalui kekuatan dan kekerasan. Dan tidakkah itu berkait langsung dengan semakin banyaknya warga tercerahkan lewat pendidikan?

Bicaralah bahwa pendidikan tak harus dijalani secara formal. Pendidikan, mungkin bisa dilalui dengan menonton televisi di rumah, yang saat ini bahkan dimiliki tunawisma penghuni kolong jembatan sekalipun.

Tetapi mungkin kita lupa. Stasiun televisi saat ini dipenuhi pseudo hiburan yang entah ditujukan untuk siapa. Yang jelas bukan untuk kaum berpunya, karena pendidikan dan cita rasa tinggi akan menjauhkan mereka dari tayangan tidak bermutu seperti itu.

Sementara bagi kaum miskin, tayangan itu hanya mempertebal dan memperuncing kecemburuan, iri, dan dengki hati. Kaum miskin mana tidak akan geram manakala melihat betapa mudahnya menghambur uang dan foya-foya sebagaimana tercermin dalam tayangan khas televisi kita?

Dengan minimnya perhatian negara pada pendidikan warganya, jangan heran bila yang tumbuh adalah perilaku anarki. Jangan heran juga, betapa anarki itu juga hidup pada dunia pendidikan kita. Lihatlah ulah para mahasiswa saat mereka berdemonstrasi. Tanpa rasa bersalah, mereka menutup jalan-jalan protokol dan menelantarkan ribuan pekerja yang kesulitan mencari sarana transportasi.

Mereka bahkan melempari dan membakar mobil berplat merah, yang tentu saja dibeli dengan pajak rakyat banyak. Mereka melakukannya dengan tertawa. Anarki ternyata tumbuh pada dunia pendidikan yang juga sakit. Lalu masih bisakah kita berkata bahwa negara boleh berlepas tangan dari semua?


0 komentar:

  © Yanto Cah Garas Ngasem by ngasem-bojonegoro.blogspot.com 2007

Back to TOP