Sabtu, 20 Desember 2008

Sejarah Industri Minyak di Bojonegoro


Ladang Minyak dan Perusahaan Minyak di Bojonegoro

Keberadaan ladang minyak di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur berawal dari ditemukannya sumur minyak oleh Adrian Stoop, seorang sarjana pertambangan lulusan Sekolah Tinggi Tekhnik Delft Belanda pada tahun 1893 di Ledok, Desa Wonocolo Kec. Kasiman Kab. Bojonegoro yang berbatasan dengan Cepu, Jawa Tengah. Pada tahun yang sama, Adrian membangun kilang minyak di Cepu, daerah Ledok itu berada. Untuk memperkuat kilang minyaknya tersebut, Adrian Stoop mendirikan perusahaan bernama Dordtsche Petroleum Maatschappij (DPM) yang namanya diambil dari desa tempat kelahirannya. DPM adalah perusahaan asing pertama di Indonesia yang mengelola minyak dan sekaligus sebagai titik awal pertambangan minyak di tanah Jawa. Seiring perjalanan sejarah, DPM berubah menjadi Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Dan setelah kemerdekaan Indonesia, BPM berubah lagi menjadi PTMRI, Permigan, Pusdik Migas, PPTMGB Lemigas, PPT Migas, dan terakhir menjadi Pusat pendidikan dan latihan Minyak Bumi dan Gas (Pusdiklat Migas).5 Saat ini Pusdilkat Migas telah berubah menjadi satu-satunya lembaga pendidikan tentang minyak di Indonesia, yaitu Akademi Minyak dan Gas (AKAMIGAS). Perubahan drastis dari tambang migas yang pertama kali menghasilkan minyak di pulau Jawa menjadi AKAMIGAS dikarenakan menipisnya cadangan-cadangan minyak diladang minyak Cepu. Dengan menipisnya ladang minyak tersebut, mengakibatkan ongkos produksi lebih besar dibandingkan keuntungan yang diperoleh. Oleh karena itu, alat-alat berat yang dulu dipakai untuk eksploitasi minyak saat ini hanya digunakan sebagai alat peraga pendidikan di AKAMIGAS.

Pada tahun 1987, berdasarkan SK Menteri Pertambangan dan Energi No. 0177/K/1987 tanggal 5 Maret 1987, Wilayah Kuasa Pertambangan (WKP) seluas 973 km2 yang semula dikelola oleh PPT Migas diserahkan kepada Pertamina UEP III lapangan Cepu. Wilayah tersebut terletak di 4 kabupaten, yaitu Grobogan, Blora, Bojonegoro dan Tuban. Dua kabupaten terakhir berada di Jawa Timur. Melalui penyerahan WKP ini, sejumlah lapangan

minyak, yaitu Kawengan, Lapangan Ledok, Desa Wonocolo Kec. Kasiman Kab. Bojonegoro dan Nglobo/Semanggi yang terdiri dari 519 sumur minyak berpindah ke tangan Pertamina UEP III. Kebijakan pemerintah tersebut bersumber pada Undang – Undang No. 44 tahun 1960 jo UU No. 8 tahun 1971. Dalam UU tersebut ditetapkan bahwa kuasa pertambangan minyak dan gas di Indonesia diberikan kepada Pertamina sebagai satu-satunya BUMN yang mengelola Migas. Pertamina UEP III Cepu sendiri mengebor ladang minyak pertama kali pada tahun 1989 di Desa Jepon Kec. Randublatung Kab. Blora Jawa Tengah.

Santa Fee, Devon dan PetroChina di Bojonegoro

Masuknya Santa Fee Energy Resources (SFER) ke Tuban dan Bojonegoro berawal dari kerjasama dengan Pertamina dalam bentuk Job Operating Body (JOB) Pertamina – Santa Fe untuk mengelola ladang minyak di Desa Rahayu Kec. Soko Tuban. Awal masuknya proyek ini di desa Rahayu pada tahun 1993 ditandai dengan pembebasan tanah. Hasil pengamatan di lokasi mendapatkan data bahwa pada saat itu tanah warga dihargai Rp.

2.600/m2.8 proses seismik yang dilakukan untuk mengetahui titik sumur dan jumlah kandungan minyak dilakukan pada tahun 1994 hingga 1996. dan pada 1997, SFER sudah melakukan proses eksploitasi dan produksi. pada awal produksinya, SFER mengestimasikan mampu menghasilkan 3000 barrel/hari. Dan selanjutnya pada tahun 1998 akan mampu memproduksi 20.000 barrel/hari. Selain wilayah Tuban, SFER juga sudah memproduksi migas di wilayah Kepala Burung, Irian Jaya (tahun 1973) dan wilayah Tanjung Jabung (tahun 1997).9 Pada tahun 2000, kepemilikan hak eksploitasi SFER berpindah ke Devon Energy, perusahaan Amerika Serikat juga yang berpusat di Houston. Setelah di tangan Devon Energy, Devon Energy juga mengembangkan produksinya dengan menemukan sumur minyak baru di wilayah Bojonegoro tepatnya di desa Ngampel kecamatan Kapas. Namun Devon belum memproduksi minyak di wilayah Ngampel. Selain di Tuban dan Bojonegoro, Jawa Timur, Devon Energy juga mengelola enam blok di Sumatra (Jambi) dan Papua. Di Jambi, tepatnya di wilayah pantai timur Kabupaten Tanjung Jabung Timur, lapangan minyak Devon itu memiliki potensi jutaan barrel minyak,

Di Salawati Papua, setidaknya ada 10 sumur yang sudah berproduksi, namun kapasitasnya hanya sebesar 2.800 barrel per hari (bph). Jika aktivitas produksi berjalan normal maka ke sepuluh sumur tersebut mampu memproduksi sebanyak 11.000 bph. Pada akhir 2001, Devon sudah berencana menjual seluruh ladang minyaknya di Indonesia. Dan pada tanggal 15 April 2002, perusahaan minyak Cina, PetroChina mengakuisisi seluruh lapangan minyak milik Devon Energy senilai US$ 262 juta. Lokasi hak pengelolaan eksplorasi PetroChina terletak di 2 lokasi yaitu, Desa Rahayu Kec. Soko Tuban dan Desa Ngampel Kec. Kapas Kabupaten Tuban. Untuk lokasi di Desa Ngampel, proses seismik sudah dilakukan sejak tahun 2000 dan saat ini semua instalasi pengeboran sudah terpasang, tapi proses produksi belum dilakukan. Produksi PetroChina di Desa Rahayu saat ini kurang lebih 8.000 barrrel/hari (bph). Menurut salah satu sumber yang kami wawancara, jumlah segitu secara ekonomis tidak layak untuk produksi perhari, karena biaya operasional yang tinggi. Namun demikian bukan berarti bahwa kandungan yang ada di sumur Rahayu tersebut sudah mulai habis, melainkan dibutuhkannya ekplorasi lanjutan untuk mencari celah letak kantong-kantong minyak. Hal ini dilakukan karena pergerakan lapisan bebatuan bumi mengalami pergeseran, sehingga menyebabkan kantong minyak yang sebelumnya berada di suatu tempat berpindah ketempat lain. Kemungkinan kerugian akan menimpa PetroChina terbantahkan dengan adanya kabar bahwa PetroChina akan menggandeng Petronas Malaysia untuk memperbesar kuantitas produksi.

PT. Humpus Patragas dan Mobil Cepu Ltd.

Pengelolaan blok Cepu pada awalnya dilakukan oleh PT. Humpuss Patragas, milik Tomy Soeharto, dengan penandatangan Technical Assistance Contract (TAC) antara Pertamina, sebagai satu-satunya BUMN yang memiliki hak pengelolaan migas di Indonesia dengan Humpuss Patragas pada April 1990. kontrak ini berlangsung selama 20 tahun, dari tahun 1990 hingga tahun 2010. Blok Cepu ini luasnya 1.670 km2 dan terdiri dari 4 wilayah yaitu Banyu Urip, Sukowati, Jambaran dan Alas Tua. Keempat lokasi sumur ini berada di 2 Propinsi yaitu Cepu, Jawa Tengah dan Bojonegoro, Jawa Timur. Sampai 1998 tak kurang dari 15 sumur sudah dibor perusahaan milik Tommy Soeharto ini. Beberapa di antaranya, seperti sumur Nglobo Utara -1 dan Alas Dara -1, sudah menghasilkan minyak mentah.

Sebelumnya di tahun 1997, Humpuss Patragas melakukan pembebasan tanah besar-besaran untuk lokasi awal di Desa Mojodelik dan Desa Gayam, desa yang menjadi titik sentral sumur Banyu Urip dan Jambaran. Humpuss melepas sahamnya sebesar 49 % kepada Ampolex Cepu Ltd, perusahaan Australia, pada bulan Mei 1996. Tidak lama setelah hampir sebagian saham Humpuss dilepas ke Ampolex, pada Desember 1996 Mobil Oil membeli Ampolex. Dan pada pertengahan 1997, Mobil Oil mengambil alih saham-saham Ampolex Cepu Ltd seluruhnya. Pada Desember 1999, Exxon Corporation merger dengan Mobil Oil dan menjadi ExxonMobil Oil yang kantor pusatnya berada di Irving, Texas Amerika Serikat. Jadilah pada saat itu ExxonMobil Oil sebuah perusahaan minyak raksasa. Pada saat yang bersamaan, Mobil Oil sedang dalam proses mengambil alih saham Humpuss Patragas yang tersisa pada TAC Cepu. Pada 29 juni 2000, Mobil Cepu Ltd (MCL), anak perusahaan yang dibentuk ExxonMobil Oil untuk menjadi operator lapangan di blok Cepu, mengambil alih pengoperasian dan 51% sisa saham TAC Cepu dari Humpuss Patragas. Mulai saat itu, ExxonMobil Oil memiliki 100 % TAC blok Cepu. Tidak lama setelah pengakuisisian saham tersebut, pada tahun 2000 juga Exxon melakukan eksplorasi seismik di wilayah block Cepu. Proses seismik adalah proses untuk mengetahui/ memetakan titik sumur pengeboran dan produksi dan jumlah minyak yang terkandung di wilayah tertentu yang telah diketahui memiliki kandungan minyak mentah. Pada bulan April 2001, Exxon mengumumkan hasil penemuannya bahwa pada 2 sumur Banyu Urip #1 dan #3 terdapat kandungan minyak mentah sebesar 250 juta barrel. Bahkan menurut data lain disebutkan bahwa kandungan minyak di wilayah tersebut tidak hanya 250 juta barrel, tapi samapi angka 700 juta barrel hingga 1 milyar barrel. Lembaga Minyak dan Gas (LEMIGAS), sebuah lembaga studi yang menjadi bagian dari AKAMIGAS mengatakann bahwa Banyu Urip, Sukowati, Jambaran dan Alas Tua menyimpan kandungan minyak mentah sampai 1,4 miliar barrel. Selain minyak mentah, blok Cepu juga memiliki kandungan gas sebesar 8,772 triliun kaki kubik. Dari hasil studi Lemigas ini, pengelola ladang minyak Cepu dapat mengangkat minyak mentah minimal sebesar 31 % atau setara dengan 458,7 juta barrel. Sedangkan untuk gas, yang bisa diangkat sebesar 72 %.

Setelah mengetahui kandungan yang ada di Blok Cepu tersebut, Pada Januari 2002, Exxon mengajukan perpanjangan kontrak TACnya kepada Pertamina sampai tahun 2030. harus diketahui sebelumnya, bahwa hak kontrak yang telah dibeli Exxon dari Humpuss pada tahun 2000 akan habis pada 2010. Hingga saat ini, negosiasi perpanjangan kontrak ExxonMobil Oil – Pertamina hingga tahun 2030 masih berlarut larut. Para elit negara pengambil kebijakan berselisih pendapat mengenai pengelolaan ladang minyak Blok Cepu yang menjadi salah satu sumber pendapatan negara terbesar ini. Bila dibuat kronologi, proses negosiasi perpanjangan kontrak ini adalah:

2001

Exxon mengajukan perpanjangan kontrak pengelolaan ladang minyak Cepu yang akan berakhir pada tahun 2010 selama 20 tahun hingga 2030.

Juli 2002

Dewan Komisaris pemerintan untuk Pertamina (DKPP) yang dipimpin menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menyetujui perpanjangan kontrak Cepu. Namun Kwik Kian Gie, salah satu anggota DKPP menyatakan penolakan perpanjangan kontrak dengan dengan Exxon Mobil Oil. Kwik meminta pertamina mengelola Cepu.

November 2002

Pertamina menyatakan tidak akan menggunakan kontrak bantuan Teknis (TAC) untuk mengelola Cepu.

April 2003

Pertamina dan ExxonMobil Oil mulai melakukan negosiasi berkaitan dengan permintaan perpanjangan kontrak. Pertamina meminta ExxonMobil memberikan dana bonus sebesar US$ 400 juta dalam bentuk kas jika ingin memperpanjang kontrak.

Juni 2003

Exxon Mobil mengirim surat kepada Presiden Megawati dengan mengatakan Pertamina mempersulit negosiasi.

September 2003

Pertamina meminta dilakukan uji tuntas atas investasi yang dilakukan Exxon Mobil sebesar US$ 495 juta dan biaya yang dikeluarkan pada tahun 2002 US$ 75 juta. Hasil audit BPKP atas biaya investasi Exxon Mobil hanya US$ 142 juta yang bisa dipertanggungjawabkan. Selebihnya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kedua perusahaan kembali melakukan negosiasi mengenai besaran investasi yang telahdikeluarkan.

Maret 2004

Pertamina menyatakan negosiasi dengan ExxonMobil selesai dan akan menggunakan Kontrak Kerja Sama (KKS) Khusus. Penandatanganan dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari komisaris, pemegang saham, dan pemerintah. Kesepakatan yang dicapai, ExxonMobil akan mendapatkan bagian 50 persen dari bagian Pertamina sebesar 40 persen dalam pola bagi hasil dengan pemerintah. Hingga saat ini pemerintah belum memberikan persetujuan atas hasil negosiasi tersebut.


0 komentar:

  © Yanto Cah Garas Ngasem by ngasem-bojonegoro.blogspot.com 2007

Back to TOP