Sabtu, 20 Desember 2008

Sejarah Industri Minyak di Bojonegoro


Ladang Minyak dan Perusahaan Minyak di Bojonegoro

Keberadaan ladang minyak di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur berawal dari ditemukannya sumur minyak oleh Adrian Stoop, seorang sarjana pertambangan lulusan Sekolah Tinggi Tekhnik Delft Belanda pada tahun 1893 di Ledok, Desa Wonocolo Kec. Kasiman Kab. Bojonegoro yang berbatasan dengan Cepu, Jawa Tengah. Pada tahun yang sama, Adrian membangun kilang minyak di Cepu, daerah Ledok itu berada. Untuk memperkuat kilang minyaknya tersebut, Adrian Stoop mendirikan perusahaan bernama Dordtsche Petroleum Maatschappij (DPM) yang namanya diambil dari desa tempat kelahirannya. DPM adalah perusahaan asing pertama di Indonesia yang mengelola minyak dan sekaligus sebagai titik awal pertambangan minyak di tanah Jawa. Seiring perjalanan sejarah, DPM berubah menjadi Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Dan setelah kemerdekaan Indonesia, BPM berubah lagi menjadi PTMRI, Permigan, Pusdik Migas, PPTMGB Lemigas, PPT Migas, dan terakhir menjadi Pusat pendidikan dan latihan Minyak Bumi dan Gas (Pusdiklat Migas).5 Saat ini Pusdilkat Migas telah berubah menjadi satu-satunya lembaga pendidikan tentang minyak di Indonesia, yaitu Akademi Minyak dan Gas (AKAMIGAS). Perubahan drastis dari tambang migas yang pertama kali menghasilkan minyak di pulau Jawa menjadi AKAMIGAS dikarenakan menipisnya cadangan-cadangan minyak diladang minyak Cepu. Dengan menipisnya ladang minyak tersebut, mengakibatkan ongkos produksi lebih besar dibandingkan keuntungan yang diperoleh. Oleh karena itu, alat-alat berat yang dulu dipakai untuk eksploitasi minyak saat ini hanya digunakan sebagai alat peraga pendidikan di AKAMIGAS.

Pada tahun 1987, berdasarkan SK Menteri Pertambangan dan Energi No. 0177/K/1987 tanggal 5 Maret 1987, Wilayah Kuasa Pertambangan (WKP) seluas 973 km2 yang semula dikelola oleh PPT Migas diserahkan kepada Pertamina UEP III lapangan Cepu. Wilayah tersebut terletak di 4 kabupaten, yaitu Grobogan, Blora, Bojonegoro dan Tuban. Dua kabupaten terakhir berada di Jawa Timur. Melalui penyerahan WKP ini, sejumlah lapangan

minyak, yaitu Kawengan, Lapangan Ledok, Desa Wonocolo Kec. Kasiman Kab. Bojonegoro dan Nglobo/Semanggi yang terdiri dari 519 sumur minyak berpindah ke tangan Pertamina UEP III. Kebijakan pemerintah tersebut bersumber pada Undang – Undang No. 44 tahun 1960 jo UU No. 8 tahun 1971. Dalam UU tersebut ditetapkan bahwa kuasa pertambangan minyak dan gas di Indonesia diberikan kepada Pertamina sebagai satu-satunya BUMN yang mengelola Migas. Pertamina UEP III Cepu sendiri mengebor ladang minyak pertama kali pada tahun 1989 di Desa Jepon Kec. Randublatung Kab. Blora Jawa Tengah.

Santa Fee, Devon dan PetroChina di Bojonegoro

Masuknya Santa Fee Energy Resources (SFER) ke Tuban dan Bojonegoro berawal dari kerjasama dengan Pertamina dalam bentuk Job Operating Body (JOB) Pertamina – Santa Fe untuk mengelola ladang minyak di Desa Rahayu Kec. Soko Tuban. Awal masuknya proyek ini di desa Rahayu pada tahun 1993 ditandai dengan pembebasan tanah. Hasil pengamatan di lokasi mendapatkan data bahwa pada saat itu tanah warga dihargai Rp.

2.600/m2.8 proses seismik yang dilakukan untuk mengetahui titik sumur dan jumlah kandungan minyak dilakukan pada tahun 1994 hingga 1996. dan pada 1997, SFER sudah melakukan proses eksploitasi dan produksi. pada awal produksinya, SFER mengestimasikan mampu menghasilkan 3000 barrel/hari. Dan selanjutnya pada tahun 1998 akan mampu memproduksi 20.000 barrel/hari. Selain wilayah Tuban, SFER juga sudah memproduksi migas di wilayah Kepala Burung, Irian Jaya (tahun 1973) dan wilayah Tanjung Jabung (tahun 1997).9 Pada tahun 2000, kepemilikan hak eksploitasi SFER berpindah ke Devon Energy, perusahaan Amerika Serikat juga yang berpusat di Houston. Setelah di tangan Devon Energy, Devon Energy juga mengembangkan produksinya dengan menemukan sumur minyak baru di wilayah Bojonegoro tepatnya di desa Ngampel kecamatan Kapas. Namun Devon belum memproduksi minyak di wilayah Ngampel. Selain di Tuban dan Bojonegoro, Jawa Timur, Devon Energy juga mengelola enam blok di Sumatra (Jambi) dan Papua. Di Jambi, tepatnya di wilayah pantai timur Kabupaten Tanjung Jabung Timur, lapangan minyak Devon itu memiliki potensi jutaan barrel minyak,

Di Salawati Papua, setidaknya ada 10 sumur yang sudah berproduksi, namun kapasitasnya hanya sebesar 2.800 barrel per hari (bph). Jika aktivitas produksi berjalan normal maka ke sepuluh sumur tersebut mampu memproduksi sebanyak 11.000 bph. Pada akhir 2001, Devon sudah berencana menjual seluruh ladang minyaknya di Indonesia. Dan pada tanggal 15 April 2002, perusahaan minyak Cina, PetroChina mengakuisisi seluruh lapangan minyak milik Devon Energy senilai US$ 262 juta. Lokasi hak pengelolaan eksplorasi PetroChina terletak di 2 lokasi yaitu, Desa Rahayu Kec. Soko Tuban dan Desa Ngampel Kec. Kapas Kabupaten Tuban. Untuk lokasi di Desa Ngampel, proses seismik sudah dilakukan sejak tahun 2000 dan saat ini semua instalasi pengeboran sudah terpasang, tapi proses produksi belum dilakukan. Produksi PetroChina di Desa Rahayu saat ini kurang lebih 8.000 barrrel/hari (bph). Menurut salah satu sumber yang kami wawancara, jumlah segitu secara ekonomis tidak layak untuk produksi perhari, karena biaya operasional yang tinggi. Namun demikian bukan berarti bahwa kandungan yang ada di sumur Rahayu tersebut sudah mulai habis, melainkan dibutuhkannya ekplorasi lanjutan untuk mencari celah letak kantong-kantong minyak. Hal ini dilakukan karena pergerakan lapisan bebatuan bumi mengalami pergeseran, sehingga menyebabkan kantong minyak yang sebelumnya berada di suatu tempat berpindah ketempat lain. Kemungkinan kerugian akan menimpa PetroChina terbantahkan dengan adanya kabar bahwa PetroChina akan menggandeng Petronas Malaysia untuk memperbesar kuantitas produksi.

PT. Humpus Patragas dan Mobil Cepu Ltd.

Pengelolaan blok Cepu pada awalnya dilakukan oleh PT. Humpuss Patragas, milik Tomy Soeharto, dengan penandatangan Technical Assistance Contract (TAC) antara Pertamina, sebagai satu-satunya BUMN yang memiliki hak pengelolaan migas di Indonesia dengan Humpuss Patragas pada April 1990. kontrak ini berlangsung selama 20 tahun, dari tahun 1990 hingga tahun 2010. Blok Cepu ini luasnya 1.670 km2 dan terdiri dari 4 wilayah yaitu Banyu Urip, Sukowati, Jambaran dan Alas Tua. Keempat lokasi sumur ini berada di 2 Propinsi yaitu Cepu, Jawa Tengah dan Bojonegoro, Jawa Timur. Sampai 1998 tak kurang dari 15 sumur sudah dibor perusahaan milik Tommy Soeharto ini. Beberapa di antaranya, seperti sumur Nglobo Utara -1 dan Alas Dara -1, sudah menghasilkan minyak mentah.

Sebelumnya di tahun 1997, Humpuss Patragas melakukan pembebasan tanah besar-besaran untuk lokasi awal di Desa Mojodelik dan Desa Gayam, desa yang menjadi titik sentral sumur Banyu Urip dan Jambaran. Humpuss melepas sahamnya sebesar 49 % kepada Ampolex Cepu Ltd, perusahaan Australia, pada bulan Mei 1996. Tidak lama setelah hampir sebagian saham Humpuss dilepas ke Ampolex, pada Desember 1996 Mobil Oil membeli Ampolex. Dan pada pertengahan 1997, Mobil Oil mengambil alih saham-saham Ampolex Cepu Ltd seluruhnya. Pada Desember 1999, Exxon Corporation merger dengan Mobil Oil dan menjadi ExxonMobil Oil yang kantor pusatnya berada di Irving, Texas Amerika Serikat. Jadilah pada saat itu ExxonMobil Oil sebuah perusahaan minyak raksasa. Pada saat yang bersamaan, Mobil Oil sedang dalam proses mengambil alih saham Humpuss Patragas yang tersisa pada TAC Cepu. Pada 29 juni 2000, Mobil Cepu Ltd (MCL), anak perusahaan yang dibentuk ExxonMobil Oil untuk menjadi operator lapangan di blok Cepu, mengambil alih pengoperasian dan 51% sisa saham TAC Cepu dari Humpuss Patragas. Mulai saat itu, ExxonMobil Oil memiliki 100 % TAC blok Cepu. Tidak lama setelah pengakuisisian saham tersebut, pada tahun 2000 juga Exxon melakukan eksplorasi seismik di wilayah block Cepu. Proses seismik adalah proses untuk mengetahui/ memetakan titik sumur pengeboran dan produksi dan jumlah minyak yang terkandung di wilayah tertentu yang telah diketahui memiliki kandungan minyak mentah. Pada bulan April 2001, Exxon mengumumkan hasil penemuannya bahwa pada 2 sumur Banyu Urip #1 dan #3 terdapat kandungan minyak mentah sebesar 250 juta barrel. Bahkan menurut data lain disebutkan bahwa kandungan minyak di wilayah tersebut tidak hanya 250 juta barrel, tapi samapi angka 700 juta barrel hingga 1 milyar barrel. Lembaga Minyak dan Gas (LEMIGAS), sebuah lembaga studi yang menjadi bagian dari AKAMIGAS mengatakann bahwa Banyu Urip, Sukowati, Jambaran dan Alas Tua menyimpan kandungan minyak mentah sampai 1,4 miliar barrel. Selain minyak mentah, blok Cepu juga memiliki kandungan gas sebesar 8,772 triliun kaki kubik. Dari hasil studi Lemigas ini, pengelola ladang minyak Cepu dapat mengangkat minyak mentah minimal sebesar 31 % atau setara dengan 458,7 juta barrel. Sedangkan untuk gas, yang bisa diangkat sebesar 72 %.

Setelah mengetahui kandungan yang ada di Blok Cepu tersebut, Pada Januari 2002, Exxon mengajukan perpanjangan kontrak TACnya kepada Pertamina sampai tahun 2030. harus diketahui sebelumnya, bahwa hak kontrak yang telah dibeli Exxon dari Humpuss pada tahun 2000 akan habis pada 2010. Hingga saat ini, negosiasi perpanjangan kontrak ExxonMobil Oil – Pertamina hingga tahun 2030 masih berlarut larut. Para elit negara pengambil kebijakan berselisih pendapat mengenai pengelolaan ladang minyak Blok Cepu yang menjadi salah satu sumber pendapatan negara terbesar ini. Bila dibuat kronologi, proses negosiasi perpanjangan kontrak ini adalah:

2001

Exxon mengajukan perpanjangan kontrak pengelolaan ladang minyak Cepu yang akan berakhir pada tahun 2010 selama 20 tahun hingga 2030.

Juli 2002

Dewan Komisaris pemerintan untuk Pertamina (DKPP) yang dipimpin menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menyetujui perpanjangan kontrak Cepu. Namun Kwik Kian Gie, salah satu anggota DKPP menyatakan penolakan perpanjangan kontrak dengan dengan Exxon Mobil Oil. Kwik meminta pertamina mengelola Cepu.

November 2002

Pertamina menyatakan tidak akan menggunakan kontrak bantuan Teknis (TAC) untuk mengelola Cepu.

April 2003

Pertamina dan ExxonMobil Oil mulai melakukan negosiasi berkaitan dengan permintaan perpanjangan kontrak. Pertamina meminta ExxonMobil memberikan dana bonus sebesar US$ 400 juta dalam bentuk kas jika ingin memperpanjang kontrak.

Juni 2003

Exxon Mobil mengirim surat kepada Presiden Megawati dengan mengatakan Pertamina mempersulit negosiasi.

September 2003

Pertamina meminta dilakukan uji tuntas atas investasi yang dilakukan Exxon Mobil sebesar US$ 495 juta dan biaya yang dikeluarkan pada tahun 2002 US$ 75 juta. Hasil audit BPKP atas biaya investasi Exxon Mobil hanya US$ 142 juta yang bisa dipertanggungjawabkan. Selebihnya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kedua perusahaan kembali melakukan negosiasi mengenai besaran investasi yang telahdikeluarkan.

Maret 2004

Pertamina menyatakan negosiasi dengan ExxonMobil selesai dan akan menggunakan Kontrak Kerja Sama (KKS) Khusus. Penandatanganan dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari komisaris, pemegang saham, dan pemerintah. Kesepakatan yang dicapai, ExxonMobil akan mendapatkan bagian 50 persen dari bagian Pertamina sebesar 40 persen dalam pola bagi hasil dengan pemerintah. Hingga saat ini pemerintah belum memberikan persetujuan atas hasil negosiasi tersebut.


Read more...

Selasa, 16 Desember 2008

Habis Moral, Terbitlah Anarki

BERITA: Fata Atqia, Kontributor INILAH.COM

NILAH,COM, Jakarta – Ada pikiran menarik yang terlontar dari sejarawan Anhar Gonggong. Demokrasi Indonesia yang dibangun pada era reformasi ini, kata dia, ditengarai mengarah kepada kekacauan. Kekacauan itu disebabkan lunturnya etika kalangan elit politik di DPR maupun aparat pemerintah di sejumlah instansi.

Miskinnya etika dan moralitas itulah yang ditengarai Anhar menjadi sumber kasus-kasus memalukan, seperti penyuapan – baik dengan uang maupun perempuan – kepada jajaran penegak hukum di pengadilan, kepolisian dan kejaksaan, serta hampir semua lembaga kenegaraan lainnya.

Belum lagi korupsi yang – berdasarkan data terakhir – ternyata menunjukkan tidak ada satu provinsi pun di Indonesia yang luput dari perbuatan bejat dan melecehkan kepentingan rakyat banyak itu.

Melihat fenomena tersebut, muncul pertanyaan tidakkah usia kemerdekaan yang sudah 63 tahun itu masih belum mampu memperlihatkan jalan terbaik menuju kesejahteraan dan kehidupan bangsa yang tertata? Tentu sulit untuk menjawab pertanyaan ini. Namun yang jelas, tampaknya ada yang terlupakan sementara kita mengarungi kehidupan berbangsa dan bernegara ini, yaitu pendidikan.

Enam puluh tiga tahun bangsa kita merdeka, rasanya tidak juga membawa masyarakat lebih mudah memperoleh pendidikan yang baik dan murah. Lima tahun terakhir ini, bahkan dengan gampang kita melihat betapa banyak anak kaum miskin, termasuk mereka yang baru dalam usia sekolah dasar, bunuh diri karena persoalan biaya pendidikan. Niat luhur mereka untuk meneruskan sekolah terbentur beton kokoh mahalnya biaya pendidikan.

Tengoklah perguruan-perguruan tinggi kita. Saat ini mungkin hanya lembaga pendidikan kelas kambing yang masih terjangkau kalangan menengah bawah. Di luar itu, kita dibuat terhenyak oleh biaya kuliah yang mencapai puluhan, bahkan ratusan juta rupiah. Dengan biaya setinggi itu, wajar bila anak kaum miskin lulusan SMA yang paling cerdas pun, hanya bisa melihat kegelapan sebagai peluang dan masa depannya.

Terlalu gampang untuk menunjuk negara sebagai kambing hitam dari persoalan ini. Negara akan berkilah tentang terbatasnya anggaran yang dimiliki, dan karena itu seiring terbukanya dunia, pemerintah menyilakan semua perguruan tinggi berlomba.

Di tingkat pendidikan dasar dan menengah, negara pun tidak malu untuk terus menunda pelaksanaan anggaran 20% untuk dunia pendidikan. Sesuatu yang sebenarnya telah digariskan sebagai aturan legislatif sejak bertahun lalu.

Subsidi yang dikerat besar-besaran itu akhirnya memaksa perguruan tinggi menjelma jadi entitas bisnis. Sikap mereka pun kontan berubah: mengutamakan siapa pun yang mampu membayar. Mereka yang tidak mampu, silakan minggir dan tahu diri.

Inilah yang terjadi di negara kita. Padahal, dengan semakin sedikitnya warga yang tercerahkan pendidikan, peluang ke arah demokratisasi pun sebenarnya makin menjauh.

Persoalannya, demokrasi tidak hanya tergantung pada para pemimpin bangsa. Meski elit pimpinan didominasi para lulusan universitas terbaik dunia, sampai taraf tertentu kualitas demokrasi bergantung pada kematangan rakyat untuk saling menghargai.

Demokrasi hampir mustahil terwujud dalam masyarakat yang warganya tidak mengenal kompromi, masyarakat di mana perbedaan pendapat yang ada lebih disukai untuk diselesaikan melalui kekuatan dan kekerasan. Dan tidakkah itu berkait langsung dengan semakin banyaknya warga tercerahkan lewat pendidikan?

Bicaralah bahwa pendidikan tak harus dijalani secara formal. Pendidikan, mungkin bisa dilalui dengan menonton televisi di rumah, yang saat ini bahkan dimiliki tunawisma penghuni kolong jembatan sekalipun.

Tetapi mungkin kita lupa. Stasiun televisi saat ini dipenuhi pseudo hiburan yang entah ditujukan untuk siapa. Yang jelas bukan untuk kaum berpunya, karena pendidikan dan cita rasa tinggi akan menjauhkan mereka dari tayangan tidak bermutu seperti itu.

Sementara bagi kaum miskin, tayangan itu hanya mempertebal dan memperuncing kecemburuan, iri, dan dengki hati. Kaum miskin mana tidak akan geram manakala melihat betapa mudahnya menghambur uang dan foya-foya sebagaimana tercermin dalam tayangan khas televisi kita?

Dengan minimnya perhatian negara pada pendidikan warganya, jangan heran bila yang tumbuh adalah perilaku anarki. Jangan heran juga, betapa anarki itu juga hidup pada dunia pendidikan kita. Lihatlah ulah para mahasiswa saat mereka berdemonstrasi. Tanpa rasa bersalah, mereka menutup jalan-jalan protokol dan menelantarkan ribuan pekerja yang kesulitan mencari sarana transportasi.

Mereka bahkan melempari dan membakar mobil berplat merah, yang tentu saja dibeli dengan pajak rakyat banyak. Mereka melakukannya dengan tertawa. Anarki ternyata tumbuh pada dunia pendidikan yang juga sakit. Lalu masih bisakah kita berkata bahwa negara boleh berlepas tangan dari semua?


Read more...

Daftar Situs Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia

http://www.its.ac.id/
http://www.ipb.ac.id/
http://www.isi.ac.id/
http://www.brawijaya.ac.id/
http://www.ui.edu/
http://www.ugm.ac.id/
http://www.unair.ac.id/
http://www.usu.ac.id/
http://www.undip.ac.id/
http://www.unila.ac.id/
http://www.malang.ac.id/
http://www.unsrat.ac.id/
http://www.unud.ac.id/
http://www.unnes.org/
http://www.untan.ac.id/
http://www.unhas.ac.id/
http://dikti.org/unima/
http://www.uny.ac.id/
http://www.unsoed.ac.id/
http://www.uns.ac.id/
http://www.unesa.ac.id/
http://www.unpad.ac.id/
http://www.unri.ac.id/
http://www.unej.ac.id/
http://www.unand.ac.id/
http://www.unmul.ac.id/
http://upi.ac.id/
http://www.unsri.ac.id/
http://www.unesa.ac.id/
http://www.um.ac.id/
http://www.unm.ac.id/
http://www.uncen.ac.id/
http://www.unj.ac.id/
http://www.unsyiah.ac.id/
http://www.polisriwijaya.ac.id/
http://www.polban.ac.id/
http://www.eepis-its.edu/
http://welcome.to/politeknik-ui
http://www.polmed.ac.id/
http://www.polman.com/
http://www.poltek-malang.ac.id/
http://www.poliupg.ac.id/
http://www.polimdo.ac.id/
http://www.polnep.ac.id/
http://www.polinpdg.ac.id/
http://www.pnb.ac.id/

Read more...

Selasa, 29 Juli 2008

Mahesa Institute Pare Kediri


MAHESA INSTITUTE
Mahesa Institute | Jl. Mawar No.4, Pare, Kediri, Jawa Timur 64212. Tlp & Fax: 0354-398123 Izin Diknas Nomor 421.9/10073/418.47/2007

Memasuki era ekonomi baru yang ditandai digitalisasi, liberalisasi serta globalisasi ini mengakibatkan meningkatnya tuntutan agar perusahaan, peserta didik, mahasiswa, pekerja, masyarakat umum, maupun abdi negara memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal. Mutlak disadari bahwa aset utama dan yang paling berharga dari suatu pribadi, perusahaan maupun negara terletak pada SDM yang unggul dan berkualitas sehingga kemajuan pribadi, institusi, lembaga pendidikan, perguruan tinggi, perusahaan maupun negara akan cepat diraih.Dalam sistem pendidikan baru, dengan situasi yang selalu berubah dikarenakan tuntutan regulasi dan ketentuan dari pusat, kita dituntut senantiasa mengikuti perkembangan dan meningkatkan kapasitas diri. Globalisasi menuntut kita semua lebih berdaya dan berkreasi menambah wawasan dan ketrampilan khususnya Bahasa Inggris yang merupakan alat komunikasi internasional, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa Bahasa Inggris yang merupakan sarana komunikasi lintas negara diperlukan diberbagai bidang, baik secara aktif maupun pasif. Sehingga menguasainya merupakan syarat yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Menyadari hal itu semua, maka Mahesa Institute dengan motto “One for All…Committed to Quality” mempunyai komitmen untuk ikut serta menjadi salah satu lembaga yang menyelenggarakan proses pendidikan Bahasa Inggris guna meningkatkan kualitas SDM menjadi manusia, siswa, mahasiswa, tenaga kerja maupun abdi negara yang berwawasan luas, handal, profesional dan bertanggungjawab dibidangnya masing-masing.

Mahesa Institute adalah lembaga dibidang jasa yang bergerak dibidang pendidikan Bahasa Inggris, baik itu secara informal maupun sederajat dengan pendidikan formal. Mahesa Institute sebagai pusat pendidikan Bahasa Inggris yang memadukan pengetahuan bahasa dan CCU (Cross Cultural Understanding - Saling silang pemahaman kebudayaan) sekaligus. Berbagai program yang ditawarkan terdesain secara terarah, program yang berjenjang, serta proses belajar mengajar yang kondusif dikarenakan lingkungan khusus yang terletak di pusat perkampungan Bahasa yang didesain untuk pendidikan Bahasa Inggris merupakan usaha keberpihakan lembaga kami terhadap keperluan mendasar peserta didik dan pengguna jasa Bahasa Inggris.

Lembaga ini didirikan dengan misi utama memberikan layanan terbaik dalam pendidikan Bahasa Inggris kepada pengguna jasa secara umum serta mengembangkan program-program Bahasa Inggris yang berorientasi pasar dan yang dibutuhkan semua kalangan, baik disektor yang mendukung pendidikan formal, industri maupun bisnis.

Read more...

Rabu, 23 Juli 2008

Pengelolaan Hutan Jati oleh Masyarakat

Pengelolaan hutan Indonesia sebenarnya dulu merujuk pada sistem warisan Pemerintah Kolonial. Sistem pengelolaan warisan itu (yang semula dikembangkan untuk hutan jati di Jawa), lebih untuk menghasilkan keuntungan bagi negara dari penjualan hasil kayu. Hal tersebut, pada satu sisi, menjadikan pemerintah memiliki wewenag besar dalam mengatur dan mengendalikan pemanfaatan hutan. Hanya pihak-pihak yang diberikan izin oleh pemerintah boleh memasuki dan memanfaatkan hasil hutan. Biasanya, pihak-pihak tersebut terbatas pada perusahaan swasta atau perusahaan negara.

Pada sisi lain, masyarakat menganggap hutan merupakan kekayaan bersama bangsa ini. Dengan demikian, masyarakat seharusnya dapat ikut memanfaatkan hutan secara langsung. Lebih jauh, masyarakat seharusnya mempunyai hak untuk ikut terlibat dalam pengelolaan hutan. Apalagi, jika mereka memang tinggal di dalam atau sekitar hutan, sehingga kehidupan mereka bersinggungan langsung dengan (bahkan tak terpisahkan dari) keberadaan hutan.

UU No. 41/1999 tentang Kehutanan adalah salah satu upaya untuk memperbaiki sistem lama pengelolaan hutan di Indonesia. Masyarakat dinyatakan mempunyai hak, bahkan kewajiban, yang lebih besar untuk terlibat dalam pengelolaan hutan.

Dengan ketentuan dari UU itu, dan dengan melihat pengalaman sebelumnya, Perhutani memperkenalkan PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) pada 2002. Di bawah model PHMB, Perhutani akan bekerja sama dengan masyarakat hutan dalam mengelola hutan: sejak merencanakan kegiatan pengelolaan hingga memanfaatkan hasil hutan. Jika ikut memiliki dan mengurus suatu lahan hutan, masyarakat tentu lebih terdorong untuk mengawasi keberlangsungan hidup hutan. Perhutani menyatakan bahwa sejumlah daerah telah ikut serta dalam sistem pengelolaan ini. Contoh penerapan PHBM yang berhasil, menurut Perhutani, dapat dilihat di daerah Blora.

Namun, ada pula contoh dari pengembangan pohon jati secara mandiri di luar kawasan hutan Perhutani oleh masyarakat. Pada 2005, CIFOR (sebuah badan peneliti kehutanan internasional) melakukan survei di sekitar setengah jumlah kabupaten yang ada di Pulau Jawa. Survei memperlihatkan minat tinggi masyarakat untuk mengembangkan kebun jati rakyat. Meskipun masa panen jati tahunan, masyarakat bersedia menanam jenis pohon ini karena menganggapnya sebagai bentuk simpanan untuk masa depan. Masyarakat Jawa memang sudah lama mengenal jati dan menghargainya dengan tinggi.

Usia kebun jati rakyat yang disurvei oleh CIFOR ini berkisar antara enam bulan dan 40 tahun. Di sekitar setengah dari jumlah lokasi survei, sebagian besar pepohonan jati ditanam setelah 1998, ketika Departemen Kehutanan membagi-bagikan anakan pohon jati secara gratis.

Read more...

Kehancuran Hutan Jati di Jawa

Seperti telah disebut, hutan jati di Pulau Jawa pernah mengalami kerusakan parah beberapa kali. Selain pada masa VOC, hutan jati di Jawa telah dikuras sepanjang pendudukan Jepang (1942-1945). Tingkat penebangan kayu jati mencapai dua lipat jumlah penebangan normal sebelumnya. Akibatnya, lahan seluas 500.000 hektar (17% luas hutan Jawa) menjadi rusak.

Jawatan Kehutanan merehabilitasi kerusakan lahan ini. Namun, setelah jawatan berubah menjadi PN Perhutani, masalah-masalah di lahan hutan jati negara di Jawa tidak berkurang. Pencurian kayu, pembakaran hutan, dan penggembalaan liar terus meningkat. Penanaman jati baru pun semakin sering gagal dan luas lahan tak produktif meningkat.

Lahan hutan Perhutani bahkan dijarah habis-habisan sepanjang 1998-2001. Penjarahan ini telah mengakibatkan kerusakan parah. Perum Perhutani melaporkan nilai kerugian besar sebagai berikut.

Tahun,, Besar Kerugian Batang Pohon, Nilai dalam Rupiah // Tahun 1999 : 3.179.973 Pohon , Rp.55.851.084.000 // Tahun 2000 : 2.574.948 Pohon , Rp.569.757.232.000 // Tahun 2001 : 2.675.161 Pohon , Rp.613.924.367.000 // Sumber: Statistik Perum Perhutani 1999-2003 (Perum Perhutani, 2004:186)

Masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan Perhutani dianggap ikut menjarah lahan Perhutani. Sejumlah pihak, sebaliknya, bernalar bahwa penjarahan sedemikian luas tidak mungkin terjadi tanpa keterlibatan sejumlah aparat negara.

Sebagian pihak lain berpendapat bahwa penjarahan hutan Perhutani pada waktu itu dapat dimaklumi. Masyarakat desa hutan perlu memperoleh dana secara cepat setelah tertimpa krisis ekonomi pada 1997. Sementara itu, pembeli kayu jati terus meningkat dan membutuhkan kayu jati dalam jumlah sangat besar. Industri mebel kayu di Jawa pada saat itu juga sedang melesat perkembangannya. Dan, industri ini cukup banyak menggunakan jati untuk hasil produksinya. Beberapa rimbawan bahkan berpandangan bahwa penjarahan itu mencerminkan puncak pertentangan antara masyarakat desa hutan dan perum. Masyarakat desa hutan sudah lama merasa tidak lagi leluasa untuk memasuki hutan. Padahal kehidupan mereka tidak terpisahkan dari pemanfaatan hutan jati itu. Ketika pengawasan terhadap hutan negara melonggar saat krisis ekonomi menimpa Indonesia, para penjarah hutan —siapa pun mereka— memanfaatkan kesempatan.

Padahal, pengambilan kayu dari hutan jati di Jawa itu tak dapat diimbangi oleh kecepatan hutan jati untuk tumbuh berkembang. Hanya dibutuhkan beberapa jam untuk menebang satu pohon jati. Satu pohon jati itu membutuhkan sekurang-kurangnya belasan tahun untuk tumbuh sebelum penebangan.

Kita mungkin dapat berkaca pada pengalaman India, salah satu dari empat negara asal jati. Selama berabad-abad, India menjadi produsen jati dan eksportir gelondongan jati terbesar di dunia. Namun, hutan jati alam India kemudian mengalami tekanan dari jumlah penduduk yang terus membesar. Orang-orang India terus merambah lahan hutan jati mereka hingga luas hutan kian menciut. Kini, India justru berbalik harus mengimpor lebih dari satu juta meter kubik kayu jati hasil tanaman dari negara-negara Asia lain setiap tahun. India telah berubah: dari eksportir jati terbesar menjadi importir jati terbesar di dunia.

Serupa dengan di India, orang-orang Indonesia telah berpaling ke lahan-lahan hutan untuk memperoleh uang secara mudah —baik untuk sekedar menyambung hidup, maupun untuk memperoleh keuntungan besar secara cepat. Namun, kehancuran hutan ternyata telah berbalik membawa kerugian dan kesengsaraan berlipat pada penduduk negeri ini sendiri.

Dalam tahun-tahun belakangan ini, sejumlah bencana alam, seperti erosi tanah secara luas, banjir yang lebih besar, dan lahan rusak, semakin sering terjadi di Indonesia, termasuk di Pulau Jawa. Boleh jadi, ini akibat langsung dan tak langsung dari mengabaikan fungsi-fungsi non-ekonomis hutan.

Read more...

Hutan Jati, Yang Dulu Indah Menghijau Sekarang Jadi Gundukan dan Hamparan Tanah Gersang


Hutan Jati adalah sejenis hutan yang dominan ditumbuhi oleh pohon jati (Tectona grandis). Di Indonesia, hutan jati terutama didapati di Jawa. Akan tetapi kini juga telah menyebar ke berbagai daerah seperti di pulau-pulau Muna, Sumbawa, Flores dan lain-lain.

Hutan jati merupakan hutan yang tertua pengelolaannya di Jawa dan juga di Indonesia, dan salah satu jenis hutan yang terbaik pengelolaannya.

Jati jawa, asli atau introduksi? Para ahli (altona, 1922; Charles, 1960) menduga bahwa jati di Jawa dibawa oleh orang-orang Hindu dari India pada akhir jaman hindu (awal abad X1V, hingga awal abad XVI). Akan tetapi beberapa ahli yang lain menyangkal, dan menyatakan bahwa tidak ada alasan yang cukup kuat untuk menyatakan bahwa jati bukan tumbuhan asli Jawa (Whitten dkk., 1999). Hipotesa introduksi jati dari india ke jawa sudah barang tentu sulit dihindari, mengingat sifat kayunya yang sejak ratusan tahun sangat dikenal, sehingga sudah barang tentu manusia sangat berperanan penting terutama dalam penyebarannya yang terbaru. Padahal menurut Peluso (1991), ketika pedagang belanda mendarat di jawa pada pertengahan abad XVII, mereka mendapati tegakan jati campuran atau bahkan tegakan jati hampir murni yang terbentang beratus-ratus kilometer di bagian tengah pulau jawa. Bila hipotesa introduksi jati dari india dibenarkan, maka introduksi tersebut telah berlangsung pada jaman yang lebih kuno, paling tidak sekitar abad VI, yakni ketika pertukaran kebudayaan antara India dan Indonesia berlangsung sangat kuat. Namun tidak ada catatan sejarah yang menguatkan dugaan itu. Dipihak lain hipotesa introduksi jati dari India ke Jawa juga menimbulkan pertanyaan yang sulit dijawab terutama tentang diketemukannya populasi jati alam di beberapa pulau terpencil di Indonesia seperti di Madura, Muna, dan ketidakhadirannya di pulau pulau lain selain di jawa padahal pulau - pulau tersebut (Sumatera misalnya) juga berperan penting dalam jalur migrasi manusia antara India, Thailand, Cambodga, China, Jepang. Berdasar itu Gartner (1956) meragukan hipotesa Altona, demikian pula Troup (1921) yang cenderung mengganggap bahwa keberadaan jati di Jawa dan beberapa pulau di indonesia adalah alami.Penelitian Kertadikara (1992) yang mempelajari keragaman genetika beberapa populasi jati India, Jawa dan Thailand dengan menggunakan isoenzym serta data morfologi, menunjukkan bahwa populasi jati dari India memiliki struktur genetika sangat khas yang jauh berbeda dengan populasi jati Jawa dan Thailand. Sementara struktur genetika populasi jati Thailand lebih dekat dengan struktur genetika populasi jati Jawa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pertama populasi jati India telah sejak lama terisolasi secara geografi dari populasi-populasijati lainnya. Kedua, bila hipotesa introduksi jati dari india ke Jawa dibenarkan, seharusnya akan terlihat kedekatan struktur genetika antara populasi Jawa dan India. Berdasar itu Kertadikara (1992)cenderung pada hipotesa migrasi alami jati dari pusat penyebaran alaminya di daratan asia tenggara (yang kemungkinan besar terletak di Myanmar), menggunakan pulau ke pulau yang menghubungkan daratan asia dengan kepulauan indonesia pada jaman pleistocene. Hubungan antra daratan asia dan kepulauan indonesia tersebut dimungkinkan akibat penurunan permukaan air laut sekitar 100 hingga 120 m lebih rendah dibanding permukaannnya sekarang. Sementara keberhasilan instalasi jati di jawa dan beberapa pulau lainnya tergantung sepenuhnya pada kebutuhan klimatik dan edafik, yang menyebabkan penyebaran alami jati bersifat terputus-putus.


Sejarah Pengelolaan

Sejauh ini, sejarah mencatat bahwa pada masa lalu, sebelum VOC datang ke Jawa, para bupati telah memberikan upeti kepada raja-raja dalam bentuk glondhong pengareng-areng. Demikian pula, ketika itu telah ada semacam jabatan yang disebut juru wana atau juru pengalasan (wana, alas bahasa Jawa berarti hutan). Pada abad ke-16 diketahui telah ada hutan jati yang dikelola baik di sekitar Bojonegoro, Jawa Timur, untuk kepentingan pembuatan bangunan-bangunan, benteng dan kapal-kapal.

Sampai dengan awal abad ke-19, VOC terus memperluas penguasaannya atas hutan-hutan jati di bagian utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun telah menguasai hutan jati selama tiga abad, boleh dikatakan belum ada pengelolaan hutan jati yang baik pada saat itu. VOC lebih banyak mengatur penebangan dan pengamanannya, untuk kepentingan pembuatan kapal-kapal dagang dan bangunan lainnya.



Cikal bakal pengelolaan hutan di Indonesia

Ketika bangkrut karena korupsi pada paruh akhir abad ke-18, VOC telah mengeksploitasi habis jati di Jawa dan meninggalkan lahan hutan yang rusak parah. Ini bukanlah kerusakan secara meluas yang terakhir dalam sejarah hutan jati di Pulau Jawa.

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengambil alih tanggung jawab VOC dan —terdorong oleh kebutuhan kayu jati sebagai bahan baku industri kapal di Belanda saat itu— berniat mengembalikan hutan jati Jawa seperti semula.

Gubernur Jenderal Willem Daendels (1808-1811) lantas mendirikan organisasi pertama untuk pengurusan hutan jati Jawa; tetap dengan memanfaatkan blandong. Pada 1847, pemerintah meminta dua rimbawan Jerman, Mollier dan Nemich, untuk merancang sistem budidaya hutan untuk Jawa. Pemerintah Kolonial Belanda kemudian memilih sistem monokultur (penanaman satu jenis pohon dominan) usulan Mollier. Mereka menolak sistem multikultur (penanaman banyak jenis pohon) usulan Nemich. Hal ini sejalan dengan tujuan menghasilkan keuntungan ekonomi bagi pemerintah kolonial saat itu.

Dapat dikatakan bahwa pengelolaan hutan secara modern pertama di Indonesia berawal dari pengelolaan hutan jati di Jawa ini. Namun, apa saja yang ditata oleh pemerintah kolonial selanjutnya?

Sejak pertengahan hingga akhir abad ke-19, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menetapkan daerah-daerah bukan pertanian dan bukan perkebunan sebagai kawasan hutan untuk ditanami dengan jati. Kawasan hutan terbatas pada tempat-tempat yang kurang subur dan curam, serta terletak jauh dari pusat-pusat pemukiman.

Sebuah undang-undang kehutanan diperkenalkan pada 1865. UU itu menghapuskan bentuk-bentuk kerja paksa. UU itu juga membagi tiga kawasan hutan Jawa: hutan jati di bawah pengurusan (negara), hutan jati tidak di bawah pengurusan, dan hutan rimba. Hutan rimba merupakan istilah untuk hutan dengan jenis pohon utama selain jati.

Pada 1874, terbitlah UU baru yang mencakup penyataan domein verklaring, yaitu semua tanah —termasuk kawasan hutan— dikuasai dan diurus oleh negara. Enam tahun kemudian, hutan-hutan produksi jati Jawa telah dibagi menjadi 13 ‘distrik hutan jati’ di bawah djatibedrijf (perusahaan jati negara).

Rencana perusahaan pertama selesai dibuat pada 1890 di bawah pimpinan rimbawan Bruisma. Tujuh tahun kemudian terbentuklah houtvestrij pertama, sementara yang terakhir baru selesai sekitar 1932. Houtvestrij merupakan pengelompokan luas lahan hutan tertentu sebagai suatu satuan perencanaan daur produksi, yaitu sejak tahap menanam pohon, ke tahap memelihara, hingga tahap dapat memanen pohon. Kita kini mengenal houtvestrij sebagai KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan).

Berpindahnya pengelolaan hutan dari VOC ke tangan Pemerintah Kolonial Belanda pada sekitar 1808, tidak menjadikan hutan jati lebih baik nasibnya. Hingga awal abad ke-20, eksploitasi tidak teratur dan kerusakan-kerusakan hutan terus terjadi. Baru pada sekitar awal abad-20 diletakkan dasar-dasar pengelolaan hutan jati modern: pembagian atas satuan-satuan wilayah pengelolaan hutan, penataan hutan, pengaturan hasil, dan penelitian-penelitian mengenai hutan.

Pengelolaan Sekarang

Pascakemerdekaan, pengelolaan hutan jati di Jawa dialihkan kepada Jawatan Kehutanan. Jawatan tersebut kemudian berubah status menjadi PN (Perusahaan Negara) Perhutani pada 1963. Status PN itu berubah lagi menjadi Perum (Perusahaan Umum) Perhutani sembilan tahun kemudian.

Di masa kini, hutan-hutan jati terdiri atas hutan-hutan yang dikelola negara, dan hutan-hutan yang dikelola oleh rakyat. Umumnya, hutan-hutan jati dikelola dengan tujuan untuk produksi (hutan produksi), dengan beberapa perkecualian.

Hutan jati rakyat adalah salah satu bentuk hutan rakyat, yang umumnya dibangun di atas tanah milik dan dikelola dalam bentuk wanatani (agroforest).


Hutan jati di atas tanah negara, atau yang biasa disebut kawasan hutan negara, di Jawa pengelolaannya dilakukan oleh Perum Perhutani. Akan tetapi dengan dibangunnya berbagai taman nasional dalam duapuluh tahun belakangan, sebagian hutan-hutan jati yang berbatasan atau menjadi satu kesatuan dengan wilayah taman nasional, pengelolaannya diserahkan kepada pihak taman nasional yang bersangkutan. Tentu saja hutan itu kini tidak lagi untuk produksi, melainkan sebagai bagian dari hutan suaka alam.

Pada 2001, pemerintah mengubah Perhutani dari bentuk Perum menjadi PT (Perseroan Terbatas), yaitu badan usaha yang bertujuan mencari laba. Berbagai pihak yang berkepentingan menyatakan keberatan terhadap peraturan ini, mengingat pentingnya fungsi ekologis dan sosial hutan jati Jawa di samping nilai ekonominya.

Ada sekitar 20-25 juta jiwa, yaitu seperenam jumlah penduduk Pulau Jawa, yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan Perhutani. Jumlah orang yang tak sedikit ini paling bergantung langsung pada keberadaan hutan jati di Pulau Jawa. Atas pertimbangan itu juga, pemerintah mengembalikan bentuk Perhutani sebagai Perum pada 2002.

Satuan wilayah pengelolaan hutan menurut Perum Perhutani, adalah unit (kurang-lebih setingkat dengan propinsi), kesatuan pemangkuan hutan (KPH, setingkat kabupaten), bagian KPH (BKPH, setingkat kecamatan), hingga resort pemangkuan hutan (RPH, setingkat desa). Akan tetapi tidak selalu persis demikian. Misalnya, KPH Banten terletak di bawah Unit III Jawa Barat, dan meliputi hutan-hutan di wilayah Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak.

Di samping hutan jati, Perhutani juga mengelola hutan-hutan tanaman yang lain, seperti hutan mahoni (Swietenia spp.), hutan tusam (Pinus merkusii), hutan kayu putih (Melaleuca leucadendron), dan hutan-hutan lindung.


Read more...

Sabtu, 19 Juli 2008

Pendidikan dan Pengentasan Kemiskinan



Bagaimana perhatian bangsa Indonesia terhadap kualitas pendidikan? Pertanyaan ini bisa menimbulkan jawaban yang beragam. Jika ditujukan kepada masyarakat yang berkecukupan, sebagian besar akan menjawab bahwa pendidikan yang berkualitas sangat penting bagi anak-anak mereka. Hal ini bisa kita lihat dari antusiasme masyarakat kelas menengah menyekolahkan anak mereka ke luar negeri. Meskipun biaya yang dibutuhkan selama menempuh pendidikan di luar negeri sangat mahal, namun dorongan untuk memberikan pendidikan yang terbaik membuat mereka tidak terlalu “memusingkan” dan menyayangkan biaya yang akan dikeluarkan.

Kesadaran Baru
Antusiasme tersebut juga dapat kita rasakan dari menjamurnya lembaga bimbingan belajar. Meningkatnya lembaga-lembaga semacam ini sebetulnya merupakan respon dari adanya permintaan dan kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang lebih baik. Sekolah dianggap sebagai pendidikan standar yang sudah seharusnya ditempuh oleh setiap orang. Namun pendidikan hanya di sekolah saja dirasakan tidak memadai bagi anak-anak mereka.

Kekurangan tersebut didapatkan dari lembaga-lembaga pendidikan di luar sekolah. Atas dasar itu tidak benar jika bangsa Indonesia dinilai tidak punya perhatian serius pada bidang pendidikan.

Namun demikian, tidak bisa ditampik bahwa bagi sebagian besar bangsa Indonesia pendidikan adalah “barang mewah”. Di atas pendidikan, bangsa ini masih pusing memikirkan kesulitan hidup, terutama ekonomi. Selain karena faktor ekonomi yang belum mencapai titik aman, sekolah juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jadi bagaimana mereka mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat yang tinggi, sedangkan untuk memberikan makan saja masih kesulitan.

Tampaknya kemiskinan menjadi salah satu faktor yang memengaruhi keterlambatan bangsa ini dalam memerhatikan urgensi pendidikan. Bagi masyarakat miskin, pendidikan belum menjadi prioritas. Atas dasar itu kemiskinan tidak memberikan kondisi yang mendukung bagi kemunculan lembaga-lembaga pendidikan yang berkualitas. Bagaimana mengaitkan antara kemiskinan dan pendidikan yang tidak berkualitas? Korelasi kedua hal ini bisa dilihat dari apa yang terjadi dalam negara-negara lain.

Sejauh ini Kanada dan Amerika dinilai sebagai negara yang kualitas lembaga pendidikannya paling baik. Kita bisa lihat bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat akan berbanding lurus dengan kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas. Sebaliknya, kita juga bisa menyaksikan negara-negara yang tingkat kemiskinannya masih tinggi akan selaras dengan keberadaan lembaga pendidikan yang berkualitas rendah.

Pendidikan Bermutu
Mengapa kemiskinan menjadi faktor penyebab rendahnya kualitas pendidikan? Hal ini karena pandangan tentang pendidikan itu sendiri. Pandangan seseorang tentang sesuatu akan sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan lingkup kebudayaannya. Dengan kata lain seseorang berpikir sesuai dengan tingkat berpikir masyarakatnya, sehingga ukuran tentang skala prioritas dan pentingnya pendidikan yang berkualitas akan ditentukan oleh sejauhmana “kesan baik” yang didapatkan atau dialami seseorang atas pendidikan. Contoh sederhana misalnya, berapa banyak pengaruh pendidikan terhadap tingkat keberhasilan seseorang menjadi kaya. Tampaknya kesan yang didapatkan masyarakat adalah bahwa kesuksesan atau kekayaan tidak berkorelasi dengan pendidikan. Masyarakat desa yang ekonominya mengalami perubahan ke arah yang lebih baik (menjadi kaya atau berkecukupan) tidak disebabkan oleh tingkat pendidikan, melainkan oleh kerja keras dan keuletan dalam berdagang. Jadi, meskipun pendidikan orang-orang kaya tersebut di daerahnya hanya setingkat SD atau SMP, namun hal itu tidak menghalangi mereka untuk bersaing dan berlomba mengumpulkan kekayaan.

Tampaknya kesan ini cukup kuat dipersepsi oleh masyarakat kita, terutama masyarakat miskin, sehingga pendidikan yang berkualitas jauh dari imajinasi mereka. Tidak mengherankan jika sejak kecil, anak-anak mereka sudah dipaksa untuk lebih memilih bekerja ketimbang sekolah.
Jika selama ini kita menyaksikan bahwa kemajuan peradaban suatu bangsa karena penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai produk pendidikan yang berkualitas, maka tidak ada pilihan bagi kita selain untuk terus memicu kesadaran masyarakat menyekolahkan anak-anaknya dan mendorong pemerintah untuk menyediakan lembaga pendidikan berkualitas. Kepedulian masyarakat akan pentingnya pendidikan harus pula didukung oleh kemampuan sumber daya ekonomi masyarakat. Hal ini menuntut pemerintah agar menyediakan sistem pendidikan berkualitas berikut anggaran operasionalnya sehingga masyarakat tidak terlalu berat menanggung biaya pendidikan anak-anaknya.

Tingkat pendidikan yang memiliki hubungan erat dengan kemiskinan harus menjadi paradigma baru program pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu, program jangka panjang pengentasan kemiskinan harus difokuskan pada bidang pendidikan sehingga seluruh masyarakat dapat mengenyam pendidikan yang memadai baik pendidikan formal maupun non-formal.

Read more...

Rabu, 18 Juni 2008

Rusaknya Jalan Yang Menghubungkan Desa Setren - Mediyunan



Rusaknya Jalan Yang Menghubungkan Desa Setren - Mediyunan


MediyunanPara warga di desa Mediyunan tersebut mengeluhkan jalan rusak yang semakin parah. Bahkan karena kondisinya yang rusak itu hasil panen terpaksa tidak bisa diangkut kepasar atau daerah lainnya, sehingga tingkat mobilitas perekonomian masyarakat desa setempat terganggu.


Hampir merata jalan rusak tapi kepedulian pemerintah setempat sangat rendah dalam melakukan perbaikan jalan yang disebabkan sebagian karena operasional mobil proyek yang sedang beroperasi di sumur Jambaran yang dikelola Mobil Cepu Ltd.


Untuk itu warga desa Mediyunan mendesak pemerintah setempat melalui aparatur pemerintah desa untuk segera melakukan kegiatan perbaikan kembali kerusakan jalan. Atau setidaknya perlu adanya solusi terbaik agar tidak merugikan para petani atau warga desa.

Di sejumlah ruas jalan kerusakan sangat luar biasa. Sehingga jangankan kendaraan roda empat dan dua, berjalan kakipun susah karena lubangnya semakin dalam. Kalau kondisi jalan kemudian menjadi kubangan dalam maka dapat dibayangkan berapa besar kerugian petani dan warga setempat jika ini tidak segera diperhatikan.

Selain memerlukan itikad baik perusahaan yang mengelola sumur Jambaran yang berada di lokasi Blok Cepu tersebut dalam melakukan perbaikan jalan rusak ini, juga perlu langkah pasti dari pemerintah kecamatan maupun kabupaten untuk mendorong perbaikan jalantersebut.

Mengenai perbaikan kembali kerusakan jalan desa yang menghubungkan desa Setren - Mediyunan ini sampai sekarang sedang ditunggu. Untuk itu warga tinggal menilai apakah pemerintah kecamatan atau perusahaan itu sendiri ada respon atau tidak, atas apa yang
dikeluhkanwarga.

Read more...

Senin, 03 Maret 2008

Konsep dan Indikator Kemiskinan

Konsep dan Indikator Kemiskinan


Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Misalnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat atau yang mengatakan bahwa kemiskinan merupakan ketakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Memang definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang miskin, tetapi defenisi ini sangat kurang memadai karena; (1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontraproduktif.

BAPPENAS mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.

Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (Joseph F. Stepanek, (ed), 1985).

Dari pendekatan-pendekatan tersebut, indikator utama kemiskinan dapat dilihat dari;
(1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak
(2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif
(3) kuranya kemampuan membaca dan menulis
(4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup
(5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi
(6) ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah
(7) akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas
(8) dan sebagainya.

Indikator-indikator tersbut dipertegas dengan rumusan yang konkrit yang dibuat oleh BAPPENAS berikut ini;

¨ terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu.

¨ terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mandapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi; jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di PUSKESMAS.

¨ terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung;

¨ terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga;

¨ terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai;

¨ terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air;

¨ lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluargannya untuk bekerja di atas tanah pertanian;

¨ memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan;

¨ lemahnya partisipasi. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka;

¨ besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga miskin di perkotaan rata‑rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di perdesaan adalah 4,8 orang.

Dari berbagai definisi tersebut di atas, maka indikator utama kemiiskinan adalah; (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah; (6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (7) terbatasnya akses terhadap air bersih; (8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.

Kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan sangat sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan manusia yang lain. Karenanya, kemiskinan hanya dapat ditanggulangi apabila dimensi-dimensi lain itu diperhitungkan. Menurut Bank Dunia (2003), penyebab dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.

Indikator utama kemiskinan menurut Bank Dunia adalah kepemilikan tanah dan modal yang terbatas, terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang bias kota, perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat, perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi, rendahnya produktivitas, budaya hidup yang jelek, tata pemerintahan yang buruk, dan pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.

Read more...

Sabtu, 01 Maret 2008

Ngasem Kota Minyak

Map Ngasem City

Siapa sangka, Bojonegoro, daerah miskin keempat dari kategori jumlah penduduknya di Jawa Timur (data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur tahun 2004), akan menjadi daerah yang diharapkan oleh negara ini. Dua lapangan yang ada di Desa Mojodelik, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro, memiliki sumber minyak dan gas hingga 734 juta barrel setara minyak.

Dua lapangan minyak dan gas (migas) itu pula yang akan menjadi tumpuan masyarakat Bojonegoro untuk mengubah kehidupan mereka yang terimpit dalam keterbatasan.

Jangan membayangkan Bojonegoro, daerah berjarak lebih dari 200 kilometer ke arah barat dari ibu kota Provinsi Jawa Timur, Surabaya, terlalu berlebihan. Kota Bojonegoro yang berpenduduk 1,2 juta jiwa hanyalah sebuah kota minim fasilitas. Cukuplah dengan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan fasilitas pendidikan berupa sekolah mulai dari taman kanak-kanak hingga dua perguruan tinggi.

Fasilitas perhubungan berupa sebuah stasiun dan terminal, namun minim armada. Sebagai gambaran, tidak ada bus antarkota dari Terminal Purabaya di Surabaya menuju Terminal Rajakwesi di Bojonegoro. Jika hendak ke Bojonegoro dari Terminal Purabaya, penumpang bus harus turun di Kecamatan Babad, Kabupaten Lamongan. Kalau ingin langsung menuju Bojonegoro, penumpang harus naik angkutan umum terlebih dahulu menuju Terminal Osowilangun, daerah perbatasan Gresik dan Surabaya.

Tidak ada pusat perdagangan atau mal, apalagi gedung bioskop. Hanya berupa pasar besar tradisional, yakni Pasar Kota Bojonegoro. Hiburan warga hanyalah warung-warung lesehan yang terletak di sekitar alun-alun kota dan depot-depot berornamen kafe. Sejumlah hotel dibangun dengan fasilitas seadanya.

Bojonegoro, daerah dengan luas wilayah lebih dari 2.000 kilometer persegi, diimpit tujuh kabupaten, yakni Madiun, Nganjuk, dan Jombang di sebelah selatan, Tuban di sebelah utara, Lamongan di sebelah timur, dan sebelah barat Kabupaten Ngawi berbatasan dengan Kabupaten Blora, Jawa Tengah, membuat daerah tersebut jarang disinggahi.

Orang lebih senang menggunakan akses jalur pantai utara, yakni dari Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban lalu masuk Rembang, Jawa Tengah, atau jalur selatan, yakni dari Surabaya-Mojokerto-Jombang-Kertosono-Nganjuk-Ngawi dan masuk ke Sragen, Jawa Tengah. Tak heran jika daerah ini jarang dilirik investor karena dianggap tidak memiliki nilai jual. Hal itu dibuktikan dari nihilnya investor asing maupun domestik yang menanamkan investasinya pada tahun 2003 dan 2004.

Nilai jual kekayaan alam dari Bojonegoro terbatas pada tanaman pertanian berupa beras dan tanaman perkebunan, yakni tembakau, dan hasil hutan berupa kayu jati. Sebagian besar penduduknya bermata pencarian sebagai petani, pedagang, dan bekerja di sektor bangunan. Hanya 1.903 orang bekerja di sektor pertambangan bahan galian.

Infrastrukturnya jauh dari kondisi baik. Jalan dari Bojonegoro menuju Cepu, Kabupaten Blora, lebih kurang 37 kilometer, paling cepat dapat ditempuh dalam waktu satu seperempat jam. Jalan dengan lebar tujuh meter dan bergelombang ini dilewati bus, truk, dan kendaraan lainnya baik dari arah timur maupun arah barat. Tak heran jika jalur itu rawan kecelakaan.

Penduduk Bojonegoro sangat berharap atas hasil migas yang ditambang di dua lapangan yang ada. Terlebih, minyak yang ditambang dari Lapangan Banyu Urip sebesar 170.000 barrel per hari dapat memberikan penghasilan 9,2 juta dollar AS per hari (asumsi harga minyak 60 dollar AS per barrel) bagi negara, dapat mengembangkan ekonomi daerah 1,5 kali hingga empat kali lipat, dan diperkirakan dapat memperbaiki iklim investasi di Indonesia dengan nilai hingga 1 miliar dollar AS.

Melihat nilai besar itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro optimistis, Banyu Urip dan Jambaran diharapkan memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Rp 2 triliun tahun 2008-2009. Adapun PAD Kabupaten Bojonegoro tahun 2005 sekitar Rp 33 miliar dan target PAD tahun 2006 sekitar Rp 39 miliar.

Mulai berbenah

Berbagai persiapan menyambut kedatangan investor dilakukan di tengah keterbatasan. Bojonegroro pun mulai bebenah. Sebuah rumah sakit umum daerah tipe B berkapasitas 308 tempat tidur dibangun atas kerja sama dengan investor dalam negeri pada tahun ini. Sebuah pusat perdagangan untuk kelas menengah ke atas dipersiapkan atas bantuan investor domestik.

Jalan lintas selatan yang terbentang dari Kecamatan Baureno, Bojonegoro, hingga ke Padangan, yakni perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, dengan panjang mencapai 112 kilometer akan dibangun. "Namun masih menunggu investor. Saat ini investornya masih PT Sambo Engineering Indonesia dari Korea," ujar Kepala Subdinas Pemberitaan dan Media Informasi Pemerintah Kabupaten Bojonegoro Johny Nurhariyanto.

Mustahil bagi Pemkab Bojonegoro mempersiapkan semua kebutuhan dalam waktu bersamaan. Kebutuhan sepenting perbaikan infrastruktur jalan dan pelatihan kerja bagi warga sekitar lokasi tambang tidak mampu diusahakan karena minimnya anggaran daerah.

"Kami membuka kesempatan kepada pihak mana pun yang mau memfasilitasi pelatihan bagi warga sekitar tambang," kata Bupati Bojonegoro M Santoso.

Ironis

Ironis memang, daerah yang kaya minyak tetapi diimpit keterbatasan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2006 sebesar Rp 600 miliar, sebagian besar masih dialokasikan untuk membayar gaji pegawainya. Biaya untuk membangun daerah lebih difokuskan pada sekolah yang rusak dan perbaikan jalan, yang mencapai Rp 160 miliar. Warga sekitar tambang sangat menyadari bahwa harapan tak semulus kenyataan. Banyak pelajaran yang terjadi di negara ini terkait dengan eksploitasi hasil tambang. Kendati berbeda status pengusahaannya, kasus PT Freeport Indonesia di Papua cukup menjadi cermin ketraumaan masyarakat sekitar lokasi tambang.

Senin (20/3) lalu sekitar 200 warga, perwakilan dari 13 desa di Kecamatan Kalitidu dan Ngasem, Bojonegoro, berunjuk rasa. "Kami tidak mau kasus PT Freeport terulang di Bojonegoro. Karena itu, kami mengharapkan agar detik ini pemerintah dan pengelola Blok Cepu mau mendengarkan harapan warga sekitar Banyu Urip," kata Ketua Serikat Pemuda Banyu Urip Moh Kharis saat melakukan unjuk rasa di jalan masuk lokasi Lapangan Banyu Urip dan Jambaran.

Harapan warga tidaklah jauh dari sebuah perubahan. Perubahan atas nasib mereka yang kini jauh dari kesejahteraan. Setidaknya mengakhiri getirnya hidup yang hanya sebagai buruh petani, demikian kata Sumarni (41), warga sekitar lokasi tambang yang bekerja sebagai buruh petani.

Mereka semua sepakat, ingin mengusap getirnya hidup dari tetesan minyak Blok Cepu.


Read more...

  © Yanto Cah Garas Ngasem by ngasem-bojonegoro.blogspot.com 2007

Back to TOP