Senin, 03 Maret 2008

Konsep dan Indikator Kemiskinan

Konsep dan Indikator Kemiskinan


Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Misalnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat atau yang mengatakan bahwa kemiskinan merupakan ketakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Memang definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang miskin, tetapi defenisi ini sangat kurang memadai karena; (1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontraproduktif.

BAPPENAS mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.

Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (Joseph F. Stepanek, (ed), 1985).

Dari pendekatan-pendekatan tersebut, indikator utama kemiskinan dapat dilihat dari;
(1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak
(2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif
(3) kuranya kemampuan membaca dan menulis
(4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup
(5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi
(6) ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah
(7) akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas
(8) dan sebagainya.

Indikator-indikator tersbut dipertegas dengan rumusan yang konkrit yang dibuat oleh BAPPENAS berikut ini;

¨ terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu.

¨ terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mandapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi; jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di PUSKESMAS.

¨ terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung;

¨ terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga;

¨ terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai;

¨ terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air;

¨ lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluargannya untuk bekerja di atas tanah pertanian;

¨ memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan;

¨ lemahnya partisipasi. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka;

¨ besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga miskin di perkotaan rata‑rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di perdesaan adalah 4,8 orang.

Dari berbagai definisi tersebut di atas, maka indikator utama kemiiskinan adalah; (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah; (6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (7) terbatasnya akses terhadap air bersih; (8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.

Kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan sangat sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan manusia yang lain. Karenanya, kemiskinan hanya dapat ditanggulangi apabila dimensi-dimensi lain itu diperhitungkan. Menurut Bank Dunia (2003), penyebab dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.

Indikator utama kemiskinan menurut Bank Dunia adalah kepemilikan tanah dan modal yang terbatas, terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang bias kota, perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat, perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi, rendahnya produktivitas, budaya hidup yang jelek, tata pemerintahan yang buruk, dan pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.

Read more...

Sabtu, 01 Maret 2008

Ngasem Kota Minyak

Map Ngasem City

Siapa sangka, Bojonegoro, daerah miskin keempat dari kategori jumlah penduduknya di Jawa Timur (data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur tahun 2004), akan menjadi daerah yang diharapkan oleh negara ini. Dua lapangan yang ada di Desa Mojodelik, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro, memiliki sumber minyak dan gas hingga 734 juta barrel setara minyak.

Dua lapangan minyak dan gas (migas) itu pula yang akan menjadi tumpuan masyarakat Bojonegoro untuk mengubah kehidupan mereka yang terimpit dalam keterbatasan.

Jangan membayangkan Bojonegoro, daerah berjarak lebih dari 200 kilometer ke arah barat dari ibu kota Provinsi Jawa Timur, Surabaya, terlalu berlebihan. Kota Bojonegoro yang berpenduduk 1,2 juta jiwa hanyalah sebuah kota minim fasilitas. Cukuplah dengan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan fasilitas pendidikan berupa sekolah mulai dari taman kanak-kanak hingga dua perguruan tinggi.

Fasilitas perhubungan berupa sebuah stasiun dan terminal, namun minim armada. Sebagai gambaran, tidak ada bus antarkota dari Terminal Purabaya di Surabaya menuju Terminal Rajakwesi di Bojonegoro. Jika hendak ke Bojonegoro dari Terminal Purabaya, penumpang bus harus turun di Kecamatan Babad, Kabupaten Lamongan. Kalau ingin langsung menuju Bojonegoro, penumpang harus naik angkutan umum terlebih dahulu menuju Terminal Osowilangun, daerah perbatasan Gresik dan Surabaya.

Tidak ada pusat perdagangan atau mal, apalagi gedung bioskop. Hanya berupa pasar besar tradisional, yakni Pasar Kota Bojonegoro. Hiburan warga hanyalah warung-warung lesehan yang terletak di sekitar alun-alun kota dan depot-depot berornamen kafe. Sejumlah hotel dibangun dengan fasilitas seadanya.

Bojonegoro, daerah dengan luas wilayah lebih dari 2.000 kilometer persegi, diimpit tujuh kabupaten, yakni Madiun, Nganjuk, dan Jombang di sebelah selatan, Tuban di sebelah utara, Lamongan di sebelah timur, dan sebelah barat Kabupaten Ngawi berbatasan dengan Kabupaten Blora, Jawa Tengah, membuat daerah tersebut jarang disinggahi.

Orang lebih senang menggunakan akses jalur pantai utara, yakni dari Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban lalu masuk Rembang, Jawa Tengah, atau jalur selatan, yakni dari Surabaya-Mojokerto-Jombang-Kertosono-Nganjuk-Ngawi dan masuk ke Sragen, Jawa Tengah. Tak heran jika daerah ini jarang dilirik investor karena dianggap tidak memiliki nilai jual. Hal itu dibuktikan dari nihilnya investor asing maupun domestik yang menanamkan investasinya pada tahun 2003 dan 2004.

Nilai jual kekayaan alam dari Bojonegoro terbatas pada tanaman pertanian berupa beras dan tanaman perkebunan, yakni tembakau, dan hasil hutan berupa kayu jati. Sebagian besar penduduknya bermata pencarian sebagai petani, pedagang, dan bekerja di sektor bangunan. Hanya 1.903 orang bekerja di sektor pertambangan bahan galian.

Infrastrukturnya jauh dari kondisi baik. Jalan dari Bojonegoro menuju Cepu, Kabupaten Blora, lebih kurang 37 kilometer, paling cepat dapat ditempuh dalam waktu satu seperempat jam. Jalan dengan lebar tujuh meter dan bergelombang ini dilewati bus, truk, dan kendaraan lainnya baik dari arah timur maupun arah barat. Tak heran jika jalur itu rawan kecelakaan.

Penduduk Bojonegoro sangat berharap atas hasil migas yang ditambang di dua lapangan yang ada. Terlebih, minyak yang ditambang dari Lapangan Banyu Urip sebesar 170.000 barrel per hari dapat memberikan penghasilan 9,2 juta dollar AS per hari (asumsi harga minyak 60 dollar AS per barrel) bagi negara, dapat mengembangkan ekonomi daerah 1,5 kali hingga empat kali lipat, dan diperkirakan dapat memperbaiki iklim investasi di Indonesia dengan nilai hingga 1 miliar dollar AS.

Melihat nilai besar itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro optimistis, Banyu Urip dan Jambaran diharapkan memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Rp 2 triliun tahun 2008-2009. Adapun PAD Kabupaten Bojonegoro tahun 2005 sekitar Rp 33 miliar dan target PAD tahun 2006 sekitar Rp 39 miliar.

Mulai berbenah

Berbagai persiapan menyambut kedatangan investor dilakukan di tengah keterbatasan. Bojonegroro pun mulai bebenah. Sebuah rumah sakit umum daerah tipe B berkapasitas 308 tempat tidur dibangun atas kerja sama dengan investor dalam negeri pada tahun ini. Sebuah pusat perdagangan untuk kelas menengah ke atas dipersiapkan atas bantuan investor domestik.

Jalan lintas selatan yang terbentang dari Kecamatan Baureno, Bojonegoro, hingga ke Padangan, yakni perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, dengan panjang mencapai 112 kilometer akan dibangun. "Namun masih menunggu investor. Saat ini investornya masih PT Sambo Engineering Indonesia dari Korea," ujar Kepala Subdinas Pemberitaan dan Media Informasi Pemerintah Kabupaten Bojonegoro Johny Nurhariyanto.

Mustahil bagi Pemkab Bojonegoro mempersiapkan semua kebutuhan dalam waktu bersamaan. Kebutuhan sepenting perbaikan infrastruktur jalan dan pelatihan kerja bagi warga sekitar lokasi tambang tidak mampu diusahakan karena minimnya anggaran daerah.

"Kami membuka kesempatan kepada pihak mana pun yang mau memfasilitasi pelatihan bagi warga sekitar tambang," kata Bupati Bojonegoro M Santoso.

Ironis

Ironis memang, daerah yang kaya minyak tetapi diimpit keterbatasan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2006 sebesar Rp 600 miliar, sebagian besar masih dialokasikan untuk membayar gaji pegawainya. Biaya untuk membangun daerah lebih difokuskan pada sekolah yang rusak dan perbaikan jalan, yang mencapai Rp 160 miliar. Warga sekitar tambang sangat menyadari bahwa harapan tak semulus kenyataan. Banyak pelajaran yang terjadi di negara ini terkait dengan eksploitasi hasil tambang. Kendati berbeda status pengusahaannya, kasus PT Freeport Indonesia di Papua cukup menjadi cermin ketraumaan masyarakat sekitar lokasi tambang.

Senin (20/3) lalu sekitar 200 warga, perwakilan dari 13 desa di Kecamatan Kalitidu dan Ngasem, Bojonegoro, berunjuk rasa. "Kami tidak mau kasus PT Freeport terulang di Bojonegoro. Karena itu, kami mengharapkan agar detik ini pemerintah dan pengelola Blok Cepu mau mendengarkan harapan warga sekitar Banyu Urip," kata Ketua Serikat Pemuda Banyu Urip Moh Kharis saat melakukan unjuk rasa di jalan masuk lokasi Lapangan Banyu Urip dan Jambaran.

Harapan warga tidaklah jauh dari sebuah perubahan. Perubahan atas nasib mereka yang kini jauh dari kesejahteraan. Setidaknya mengakhiri getirnya hidup yang hanya sebagai buruh petani, demikian kata Sumarni (41), warga sekitar lokasi tambang yang bekerja sebagai buruh petani.

Mereka semua sepakat, ingin mengusap getirnya hidup dari tetesan minyak Blok Cepu.


Read more...

POD Sumur Banyuurip Butuh 1 Miliar Dolar AS

Perubahan dari 'Plan Of Development' (POD) Sumur Banyuurip di blok Cepu, desa Mojodelik, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro, Jatim, yang dikelola Mobile Cepu Limited (MCL) membutuhkan total investasi mencapai US$1 miliar.

Public Relation Manager ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI) Inc, Deva Rachman, di Surabaya, Sabtu (5/5), mengemukakan hal itu di sela-sela talk show bertajuk 'Membangun Citra Positif di Media' yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya bersama EMOI.

Menurut dia, investasi US$1 miliar itu akan ditanggung tiga pihak, yakni MCL (anak perusahaan EMOI), Pertamina dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Bojonegoro.

"Untuk prosentase ketiga pihak itu, saya belum mengecek, karena hal itu masalah teknis. Nanti saja," paparnya di sela-sela acara yang dimarakkan dengan Konferensi Kota (Konferkot) AJI Surabaya itu.

Ditanya tentang rencana produksi di lapangan Banyuurip, ia mengaku hal itu membutuhkan waktu lama, karena tahap-tahap untuk menuju tahap operasional memang cukup banyak.

"Kami mentargetkan produksi pada tahun 2010. Tapi pemerintah memang berharap untuk dipercepat. Karena itu, ada opsi-opsi untuk ke sana, namun belum diketahui secara pasti waktunya, sebab tahapan-tahapannya banyak," ucapnya.

Ia menegaskan bahwa tahapan yang cukup memakan waktu antara lain sosialisasi kepada masyarakat, pembebasan lahan, perijinan, hingga persiapan pembangunan fasilitas di lapangan Banyuurip.

"Jadi, membangun fasilitas di lapangan Banyuurip itu tidak seperti membangun rumah, karena bangunannya besar dan tahapannya cukup banyak. Apalagi kawasan yang dibangun merupakan kawasan padat penduduk," ungkapnya.

Dalam 'talk show' yang menghadirkan Abdullah Alamudi (Dewan Pers) dan Heru Hendratmoko (Ketua AJI Indonesia) itu, Deva Rachman menilai, peran media massa terhadap upaya yang dilakukan EMOI cukup positif.

"Kalau pun ada hal-hal negatif, maka hal itu menjadi masukan bagi kami, sehingga kami langsung bertindak mengecek dan menindaklanjuti. Jadi, yang penting bukan bagaimana berita negatif dipositif-positifkan, tapi bagaimana kami menyikapi hal-hal negatif," tuturnya.

Read more...

  © Yanto Cah Garas Ngasem by ngasem-bojonegoro.blogspot.com 2007

Back to TOP