Selasa, 29 Juli 2008

Mahesa Institute Pare Kediri


MAHESA INSTITUTE
Mahesa Institute | Jl. Mawar No.4, Pare, Kediri, Jawa Timur 64212. Tlp & Fax: 0354-398123 Izin Diknas Nomor 421.9/10073/418.47/2007

Memasuki era ekonomi baru yang ditandai digitalisasi, liberalisasi serta globalisasi ini mengakibatkan meningkatnya tuntutan agar perusahaan, peserta didik, mahasiswa, pekerja, masyarakat umum, maupun abdi negara memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal. Mutlak disadari bahwa aset utama dan yang paling berharga dari suatu pribadi, perusahaan maupun negara terletak pada SDM yang unggul dan berkualitas sehingga kemajuan pribadi, institusi, lembaga pendidikan, perguruan tinggi, perusahaan maupun negara akan cepat diraih.Dalam sistem pendidikan baru, dengan situasi yang selalu berubah dikarenakan tuntutan regulasi dan ketentuan dari pusat, kita dituntut senantiasa mengikuti perkembangan dan meningkatkan kapasitas diri. Globalisasi menuntut kita semua lebih berdaya dan berkreasi menambah wawasan dan ketrampilan khususnya Bahasa Inggris yang merupakan alat komunikasi internasional, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa Bahasa Inggris yang merupakan sarana komunikasi lintas negara diperlukan diberbagai bidang, baik secara aktif maupun pasif. Sehingga menguasainya merupakan syarat yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Menyadari hal itu semua, maka Mahesa Institute dengan motto “One for All…Committed to Quality” mempunyai komitmen untuk ikut serta menjadi salah satu lembaga yang menyelenggarakan proses pendidikan Bahasa Inggris guna meningkatkan kualitas SDM menjadi manusia, siswa, mahasiswa, tenaga kerja maupun abdi negara yang berwawasan luas, handal, profesional dan bertanggungjawab dibidangnya masing-masing.

Mahesa Institute adalah lembaga dibidang jasa yang bergerak dibidang pendidikan Bahasa Inggris, baik itu secara informal maupun sederajat dengan pendidikan formal. Mahesa Institute sebagai pusat pendidikan Bahasa Inggris yang memadukan pengetahuan bahasa dan CCU (Cross Cultural Understanding - Saling silang pemahaman kebudayaan) sekaligus. Berbagai program yang ditawarkan terdesain secara terarah, program yang berjenjang, serta proses belajar mengajar yang kondusif dikarenakan lingkungan khusus yang terletak di pusat perkampungan Bahasa yang didesain untuk pendidikan Bahasa Inggris merupakan usaha keberpihakan lembaga kami terhadap keperluan mendasar peserta didik dan pengguna jasa Bahasa Inggris.

Lembaga ini didirikan dengan misi utama memberikan layanan terbaik dalam pendidikan Bahasa Inggris kepada pengguna jasa secara umum serta mengembangkan program-program Bahasa Inggris yang berorientasi pasar dan yang dibutuhkan semua kalangan, baik disektor yang mendukung pendidikan formal, industri maupun bisnis.

Read more...

Rabu, 23 Juli 2008

Pengelolaan Hutan Jati oleh Masyarakat

Pengelolaan hutan Indonesia sebenarnya dulu merujuk pada sistem warisan Pemerintah Kolonial. Sistem pengelolaan warisan itu (yang semula dikembangkan untuk hutan jati di Jawa), lebih untuk menghasilkan keuntungan bagi negara dari penjualan hasil kayu. Hal tersebut, pada satu sisi, menjadikan pemerintah memiliki wewenag besar dalam mengatur dan mengendalikan pemanfaatan hutan. Hanya pihak-pihak yang diberikan izin oleh pemerintah boleh memasuki dan memanfaatkan hasil hutan. Biasanya, pihak-pihak tersebut terbatas pada perusahaan swasta atau perusahaan negara.

Pada sisi lain, masyarakat menganggap hutan merupakan kekayaan bersama bangsa ini. Dengan demikian, masyarakat seharusnya dapat ikut memanfaatkan hutan secara langsung. Lebih jauh, masyarakat seharusnya mempunyai hak untuk ikut terlibat dalam pengelolaan hutan. Apalagi, jika mereka memang tinggal di dalam atau sekitar hutan, sehingga kehidupan mereka bersinggungan langsung dengan (bahkan tak terpisahkan dari) keberadaan hutan.

UU No. 41/1999 tentang Kehutanan adalah salah satu upaya untuk memperbaiki sistem lama pengelolaan hutan di Indonesia. Masyarakat dinyatakan mempunyai hak, bahkan kewajiban, yang lebih besar untuk terlibat dalam pengelolaan hutan.

Dengan ketentuan dari UU itu, dan dengan melihat pengalaman sebelumnya, Perhutani memperkenalkan PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) pada 2002. Di bawah model PHMB, Perhutani akan bekerja sama dengan masyarakat hutan dalam mengelola hutan: sejak merencanakan kegiatan pengelolaan hingga memanfaatkan hasil hutan. Jika ikut memiliki dan mengurus suatu lahan hutan, masyarakat tentu lebih terdorong untuk mengawasi keberlangsungan hidup hutan. Perhutani menyatakan bahwa sejumlah daerah telah ikut serta dalam sistem pengelolaan ini. Contoh penerapan PHBM yang berhasil, menurut Perhutani, dapat dilihat di daerah Blora.

Namun, ada pula contoh dari pengembangan pohon jati secara mandiri di luar kawasan hutan Perhutani oleh masyarakat. Pada 2005, CIFOR (sebuah badan peneliti kehutanan internasional) melakukan survei di sekitar setengah jumlah kabupaten yang ada di Pulau Jawa. Survei memperlihatkan minat tinggi masyarakat untuk mengembangkan kebun jati rakyat. Meskipun masa panen jati tahunan, masyarakat bersedia menanam jenis pohon ini karena menganggapnya sebagai bentuk simpanan untuk masa depan. Masyarakat Jawa memang sudah lama mengenal jati dan menghargainya dengan tinggi.

Usia kebun jati rakyat yang disurvei oleh CIFOR ini berkisar antara enam bulan dan 40 tahun. Di sekitar setengah dari jumlah lokasi survei, sebagian besar pepohonan jati ditanam setelah 1998, ketika Departemen Kehutanan membagi-bagikan anakan pohon jati secara gratis.

Read more...

Kehancuran Hutan Jati di Jawa

Seperti telah disebut, hutan jati di Pulau Jawa pernah mengalami kerusakan parah beberapa kali. Selain pada masa VOC, hutan jati di Jawa telah dikuras sepanjang pendudukan Jepang (1942-1945). Tingkat penebangan kayu jati mencapai dua lipat jumlah penebangan normal sebelumnya. Akibatnya, lahan seluas 500.000 hektar (17% luas hutan Jawa) menjadi rusak.

Jawatan Kehutanan merehabilitasi kerusakan lahan ini. Namun, setelah jawatan berubah menjadi PN Perhutani, masalah-masalah di lahan hutan jati negara di Jawa tidak berkurang. Pencurian kayu, pembakaran hutan, dan penggembalaan liar terus meningkat. Penanaman jati baru pun semakin sering gagal dan luas lahan tak produktif meningkat.

Lahan hutan Perhutani bahkan dijarah habis-habisan sepanjang 1998-2001. Penjarahan ini telah mengakibatkan kerusakan parah. Perum Perhutani melaporkan nilai kerugian besar sebagai berikut.

Tahun,, Besar Kerugian Batang Pohon, Nilai dalam Rupiah // Tahun 1999 : 3.179.973 Pohon , Rp.55.851.084.000 // Tahun 2000 : 2.574.948 Pohon , Rp.569.757.232.000 // Tahun 2001 : 2.675.161 Pohon , Rp.613.924.367.000 // Sumber: Statistik Perum Perhutani 1999-2003 (Perum Perhutani, 2004:186)

Masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan Perhutani dianggap ikut menjarah lahan Perhutani. Sejumlah pihak, sebaliknya, bernalar bahwa penjarahan sedemikian luas tidak mungkin terjadi tanpa keterlibatan sejumlah aparat negara.

Sebagian pihak lain berpendapat bahwa penjarahan hutan Perhutani pada waktu itu dapat dimaklumi. Masyarakat desa hutan perlu memperoleh dana secara cepat setelah tertimpa krisis ekonomi pada 1997. Sementara itu, pembeli kayu jati terus meningkat dan membutuhkan kayu jati dalam jumlah sangat besar. Industri mebel kayu di Jawa pada saat itu juga sedang melesat perkembangannya. Dan, industri ini cukup banyak menggunakan jati untuk hasil produksinya. Beberapa rimbawan bahkan berpandangan bahwa penjarahan itu mencerminkan puncak pertentangan antara masyarakat desa hutan dan perum. Masyarakat desa hutan sudah lama merasa tidak lagi leluasa untuk memasuki hutan. Padahal kehidupan mereka tidak terpisahkan dari pemanfaatan hutan jati itu. Ketika pengawasan terhadap hutan negara melonggar saat krisis ekonomi menimpa Indonesia, para penjarah hutan —siapa pun mereka— memanfaatkan kesempatan.

Padahal, pengambilan kayu dari hutan jati di Jawa itu tak dapat diimbangi oleh kecepatan hutan jati untuk tumbuh berkembang. Hanya dibutuhkan beberapa jam untuk menebang satu pohon jati. Satu pohon jati itu membutuhkan sekurang-kurangnya belasan tahun untuk tumbuh sebelum penebangan.

Kita mungkin dapat berkaca pada pengalaman India, salah satu dari empat negara asal jati. Selama berabad-abad, India menjadi produsen jati dan eksportir gelondongan jati terbesar di dunia. Namun, hutan jati alam India kemudian mengalami tekanan dari jumlah penduduk yang terus membesar. Orang-orang India terus merambah lahan hutan jati mereka hingga luas hutan kian menciut. Kini, India justru berbalik harus mengimpor lebih dari satu juta meter kubik kayu jati hasil tanaman dari negara-negara Asia lain setiap tahun. India telah berubah: dari eksportir jati terbesar menjadi importir jati terbesar di dunia.

Serupa dengan di India, orang-orang Indonesia telah berpaling ke lahan-lahan hutan untuk memperoleh uang secara mudah —baik untuk sekedar menyambung hidup, maupun untuk memperoleh keuntungan besar secara cepat. Namun, kehancuran hutan ternyata telah berbalik membawa kerugian dan kesengsaraan berlipat pada penduduk negeri ini sendiri.

Dalam tahun-tahun belakangan ini, sejumlah bencana alam, seperti erosi tanah secara luas, banjir yang lebih besar, dan lahan rusak, semakin sering terjadi di Indonesia, termasuk di Pulau Jawa. Boleh jadi, ini akibat langsung dan tak langsung dari mengabaikan fungsi-fungsi non-ekonomis hutan.

Read more...

Hutan Jati, Yang Dulu Indah Menghijau Sekarang Jadi Gundukan dan Hamparan Tanah Gersang


Hutan Jati adalah sejenis hutan yang dominan ditumbuhi oleh pohon jati (Tectona grandis). Di Indonesia, hutan jati terutama didapati di Jawa. Akan tetapi kini juga telah menyebar ke berbagai daerah seperti di pulau-pulau Muna, Sumbawa, Flores dan lain-lain.

Hutan jati merupakan hutan yang tertua pengelolaannya di Jawa dan juga di Indonesia, dan salah satu jenis hutan yang terbaik pengelolaannya.

Jati jawa, asli atau introduksi? Para ahli (altona, 1922; Charles, 1960) menduga bahwa jati di Jawa dibawa oleh orang-orang Hindu dari India pada akhir jaman hindu (awal abad X1V, hingga awal abad XVI). Akan tetapi beberapa ahli yang lain menyangkal, dan menyatakan bahwa tidak ada alasan yang cukup kuat untuk menyatakan bahwa jati bukan tumbuhan asli Jawa (Whitten dkk., 1999). Hipotesa introduksi jati dari india ke jawa sudah barang tentu sulit dihindari, mengingat sifat kayunya yang sejak ratusan tahun sangat dikenal, sehingga sudah barang tentu manusia sangat berperanan penting terutama dalam penyebarannya yang terbaru. Padahal menurut Peluso (1991), ketika pedagang belanda mendarat di jawa pada pertengahan abad XVII, mereka mendapati tegakan jati campuran atau bahkan tegakan jati hampir murni yang terbentang beratus-ratus kilometer di bagian tengah pulau jawa. Bila hipotesa introduksi jati dari india dibenarkan, maka introduksi tersebut telah berlangsung pada jaman yang lebih kuno, paling tidak sekitar abad VI, yakni ketika pertukaran kebudayaan antara India dan Indonesia berlangsung sangat kuat. Namun tidak ada catatan sejarah yang menguatkan dugaan itu. Dipihak lain hipotesa introduksi jati dari India ke Jawa juga menimbulkan pertanyaan yang sulit dijawab terutama tentang diketemukannya populasi jati alam di beberapa pulau terpencil di Indonesia seperti di Madura, Muna, dan ketidakhadirannya di pulau pulau lain selain di jawa padahal pulau - pulau tersebut (Sumatera misalnya) juga berperan penting dalam jalur migrasi manusia antara India, Thailand, Cambodga, China, Jepang. Berdasar itu Gartner (1956) meragukan hipotesa Altona, demikian pula Troup (1921) yang cenderung mengganggap bahwa keberadaan jati di Jawa dan beberapa pulau di indonesia adalah alami.Penelitian Kertadikara (1992) yang mempelajari keragaman genetika beberapa populasi jati India, Jawa dan Thailand dengan menggunakan isoenzym serta data morfologi, menunjukkan bahwa populasi jati dari India memiliki struktur genetika sangat khas yang jauh berbeda dengan populasi jati Jawa dan Thailand. Sementara struktur genetika populasi jati Thailand lebih dekat dengan struktur genetika populasi jati Jawa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pertama populasi jati India telah sejak lama terisolasi secara geografi dari populasi-populasijati lainnya. Kedua, bila hipotesa introduksi jati dari india ke Jawa dibenarkan, seharusnya akan terlihat kedekatan struktur genetika antara populasi Jawa dan India. Berdasar itu Kertadikara (1992)cenderung pada hipotesa migrasi alami jati dari pusat penyebaran alaminya di daratan asia tenggara (yang kemungkinan besar terletak di Myanmar), menggunakan pulau ke pulau yang menghubungkan daratan asia dengan kepulauan indonesia pada jaman pleistocene. Hubungan antra daratan asia dan kepulauan indonesia tersebut dimungkinkan akibat penurunan permukaan air laut sekitar 100 hingga 120 m lebih rendah dibanding permukaannnya sekarang. Sementara keberhasilan instalasi jati di jawa dan beberapa pulau lainnya tergantung sepenuhnya pada kebutuhan klimatik dan edafik, yang menyebabkan penyebaran alami jati bersifat terputus-putus.


Sejarah Pengelolaan

Sejauh ini, sejarah mencatat bahwa pada masa lalu, sebelum VOC datang ke Jawa, para bupati telah memberikan upeti kepada raja-raja dalam bentuk glondhong pengareng-areng. Demikian pula, ketika itu telah ada semacam jabatan yang disebut juru wana atau juru pengalasan (wana, alas bahasa Jawa berarti hutan). Pada abad ke-16 diketahui telah ada hutan jati yang dikelola baik di sekitar Bojonegoro, Jawa Timur, untuk kepentingan pembuatan bangunan-bangunan, benteng dan kapal-kapal.

Sampai dengan awal abad ke-19, VOC terus memperluas penguasaannya atas hutan-hutan jati di bagian utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun telah menguasai hutan jati selama tiga abad, boleh dikatakan belum ada pengelolaan hutan jati yang baik pada saat itu. VOC lebih banyak mengatur penebangan dan pengamanannya, untuk kepentingan pembuatan kapal-kapal dagang dan bangunan lainnya.



Cikal bakal pengelolaan hutan di Indonesia

Ketika bangkrut karena korupsi pada paruh akhir abad ke-18, VOC telah mengeksploitasi habis jati di Jawa dan meninggalkan lahan hutan yang rusak parah. Ini bukanlah kerusakan secara meluas yang terakhir dalam sejarah hutan jati di Pulau Jawa.

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengambil alih tanggung jawab VOC dan —terdorong oleh kebutuhan kayu jati sebagai bahan baku industri kapal di Belanda saat itu— berniat mengembalikan hutan jati Jawa seperti semula.

Gubernur Jenderal Willem Daendels (1808-1811) lantas mendirikan organisasi pertama untuk pengurusan hutan jati Jawa; tetap dengan memanfaatkan blandong. Pada 1847, pemerintah meminta dua rimbawan Jerman, Mollier dan Nemich, untuk merancang sistem budidaya hutan untuk Jawa. Pemerintah Kolonial Belanda kemudian memilih sistem monokultur (penanaman satu jenis pohon dominan) usulan Mollier. Mereka menolak sistem multikultur (penanaman banyak jenis pohon) usulan Nemich. Hal ini sejalan dengan tujuan menghasilkan keuntungan ekonomi bagi pemerintah kolonial saat itu.

Dapat dikatakan bahwa pengelolaan hutan secara modern pertama di Indonesia berawal dari pengelolaan hutan jati di Jawa ini. Namun, apa saja yang ditata oleh pemerintah kolonial selanjutnya?

Sejak pertengahan hingga akhir abad ke-19, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menetapkan daerah-daerah bukan pertanian dan bukan perkebunan sebagai kawasan hutan untuk ditanami dengan jati. Kawasan hutan terbatas pada tempat-tempat yang kurang subur dan curam, serta terletak jauh dari pusat-pusat pemukiman.

Sebuah undang-undang kehutanan diperkenalkan pada 1865. UU itu menghapuskan bentuk-bentuk kerja paksa. UU itu juga membagi tiga kawasan hutan Jawa: hutan jati di bawah pengurusan (negara), hutan jati tidak di bawah pengurusan, dan hutan rimba. Hutan rimba merupakan istilah untuk hutan dengan jenis pohon utama selain jati.

Pada 1874, terbitlah UU baru yang mencakup penyataan domein verklaring, yaitu semua tanah —termasuk kawasan hutan— dikuasai dan diurus oleh negara. Enam tahun kemudian, hutan-hutan produksi jati Jawa telah dibagi menjadi 13 ‘distrik hutan jati’ di bawah djatibedrijf (perusahaan jati negara).

Rencana perusahaan pertama selesai dibuat pada 1890 di bawah pimpinan rimbawan Bruisma. Tujuh tahun kemudian terbentuklah houtvestrij pertama, sementara yang terakhir baru selesai sekitar 1932. Houtvestrij merupakan pengelompokan luas lahan hutan tertentu sebagai suatu satuan perencanaan daur produksi, yaitu sejak tahap menanam pohon, ke tahap memelihara, hingga tahap dapat memanen pohon. Kita kini mengenal houtvestrij sebagai KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan).

Berpindahnya pengelolaan hutan dari VOC ke tangan Pemerintah Kolonial Belanda pada sekitar 1808, tidak menjadikan hutan jati lebih baik nasibnya. Hingga awal abad ke-20, eksploitasi tidak teratur dan kerusakan-kerusakan hutan terus terjadi. Baru pada sekitar awal abad-20 diletakkan dasar-dasar pengelolaan hutan jati modern: pembagian atas satuan-satuan wilayah pengelolaan hutan, penataan hutan, pengaturan hasil, dan penelitian-penelitian mengenai hutan.

Pengelolaan Sekarang

Pascakemerdekaan, pengelolaan hutan jati di Jawa dialihkan kepada Jawatan Kehutanan. Jawatan tersebut kemudian berubah status menjadi PN (Perusahaan Negara) Perhutani pada 1963. Status PN itu berubah lagi menjadi Perum (Perusahaan Umum) Perhutani sembilan tahun kemudian.

Di masa kini, hutan-hutan jati terdiri atas hutan-hutan yang dikelola negara, dan hutan-hutan yang dikelola oleh rakyat. Umumnya, hutan-hutan jati dikelola dengan tujuan untuk produksi (hutan produksi), dengan beberapa perkecualian.

Hutan jati rakyat adalah salah satu bentuk hutan rakyat, yang umumnya dibangun di atas tanah milik dan dikelola dalam bentuk wanatani (agroforest).


Hutan jati di atas tanah negara, atau yang biasa disebut kawasan hutan negara, di Jawa pengelolaannya dilakukan oleh Perum Perhutani. Akan tetapi dengan dibangunnya berbagai taman nasional dalam duapuluh tahun belakangan, sebagian hutan-hutan jati yang berbatasan atau menjadi satu kesatuan dengan wilayah taman nasional, pengelolaannya diserahkan kepada pihak taman nasional yang bersangkutan. Tentu saja hutan itu kini tidak lagi untuk produksi, melainkan sebagai bagian dari hutan suaka alam.

Pada 2001, pemerintah mengubah Perhutani dari bentuk Perum menjadi PT (Perseroan Terbatas), yaitu badan usaha yang bertujuan mencari laba. Berbagai pihak yang berkepentingan menyatakan keberatan terhadap peraturan ini, mengingat pentingnya fungsi ekologis dan sosial hutan jati Jawa di samping nilai ekonominya.

Ada sekitar 20-25 juta jiwa, yaitu seperenam jumlah penduduk Pulau Jawa, yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan Perhutani. Jumlah orang yang tak sedikit ini paling bergantung langsung pada keberadaan hutan jati di Pulau Jawa. Atas pertimbangan itu juga, pemerintah mengembalikan bentuk Perhutani sebagai Perum pada 2002.

Satuan wilayah pengelolaan hutan menurut Perum Perhutani, adalah unit (kurang-lebih setingkat dengan propinsi), kesatuan pemangkuan hutan (KPH, setingkat kabupaten), bagian KPH (BKPH, setingkat kecamatan), hingga resort pemangkuan hutan (RPH, setingkat desa). Akan tetapi tidak selalu persis demikian. Misalnya, KPH Banten terletak di bawah Unit III Jawa Barat, dan meliputi hutan-hutan di wilayah Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak.

Di samping hutan jati, Perhutani juga mengelola hutan-hutan tanaman yang lain, seperti hutan mahoni (Swietenia spp.), hutan tusam (Pinus merkusii), hutan kayu putih (Melaleuca leucadendron), dan hutan-hutan lindung.


Read more...

Sabtu, 19 Juli 2008

Pendidikan dan Pengentasan Kemiskinan



Bagaimana perhatian bangsa Indonesia terhadap kualitas pendidikan? Pertanyaan ini bisa menimbulkan jawaban yang beragam. Jika ditujukan kepada masyarakat yang berkecukupan, sebagian besar akan menjawab bahwa pendidikan yang berkualitas sangat penting bagi anak-anak mereka. Hal ini bisa kita lihat dari antusiasme masyarakat kelas menengah menyekolahkan anak mereka ke luar negeri. Meskipun biaya yang dibutuhkan selama menempuh pendidikan di luar negeri sangat mahal, namun dorongan untuk memberikan pendidikan yang terbaik membuat mereka tidak terlalu “memusingkan” dan menyayangkan biaya yang akan dikeluarkan.

Kesadaran Baru
Antusiasme tersebut juga dapat kita rasakan dari menjamurnya lembaga bimbingan belajar. Meningkatnya lembaga-lembaga semacam ini sebetulnya merupakan respon dari adanya permintaan dan kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang lebih baik. Sekolah dianggap sebagai pendidikan standar yang sudah seharusnya ditempuh oleh setiap orang. Namun pendidikan hanya di sekolah saja dirasakan tidak memadai bagi anak-anak mereka.

Kekurangan tersebut didapatkan dari lembaga-lembaga pendidikan di luar sekolah. Atas dasar itu tidak benar jika bangsa Indonesia dinilai tidak punya perhatian serius pada bidang pendidikan.

Namun demikian, tidak bisa ditampik bahwa bagi sebagian besar bangsa Indonesia pendidikan adalah “barang mewah”. Di atas pendidikan, bangsa ini masih pusing memikirkan kesulitan hidup, terutama ekonomi. Selain karena faktor ekonomi yang belum mencapai titik aman, sekolah juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jadi bagaimana mereka mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat yang tinggi, sedangkan untuk memberikan makan saja masih kesulitan.

Tampaknya kemiskinan menjadi salah satu faktor yang memengaruhi keterlambatan bangsa ini dalam memerhatikan urgensi pendidikan. Bagi masyarakat miskin, pendidikan belum menjadi prioritas. Atas dasar itu kemiskinan tidak memberikan kondisi yang mendukung bagi kemunculan lembaga-lembaga pendidikan yang berkualitas. Bagaimana mengaitkan antara kemiskinan dan pendidikan yang tidak berkualitas? Korelasi kedua hal ini bisa dilihat dari apa yang terjadi dalam negara-negara lain.

Sejauh ini Kanada dan Amerika dinilai sebagai negara yang kualitas lembaga pendidikannya paling baik. Kita bisa lihat bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat akan berbanding lurus dengan kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas. Sebaliknya, kita juga bisa menyaksikan negara-negara yang tingkat kemiskinannya masih tinggi akan selaras dengan keberadaan lembaga pendidikan yang berkualitas rendah.

Pendidikan Bermutu
Mengapa kemiskinan menjadi faktor penyebab rendahnya kualitas pendidikan? Hal ini karena pandangan tentang pendidikan itu sendiri. Pandangan seseorang tentang sesuatu akan sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan lingkup kebudayaannya. Dengan kata lain seseorang berpikir sesuai dengan tingkat berpikir masyarakatnya, sehingga ukuran tentang skala prioritas dan pentingnya pendidikan yang berkualitas akan ditentukan oleh sejauhmana “kesan baik” yang didapatkan atau dialami seseorang atas pendidikan. Contoh sederhana misalnya, berapa banyak pengaruh pendidikan terhadap tingkat keberhasilan seseorang menjadi kaya. Tampaknya kesan yang didapatkan masyarakat adalah bahwa kesuksesan atau kekayaan tidak berkorelasi dengan pendidikan. Masyarakat desa yang ekonominya mengalami perubahan ke arah yang lebih baik (menjadi kaya atau berkecukupan) tidak disebabkan oleh tingkat pendidikan, melainkan oleh kerja keras dan keuletan dalam berdagang. Jadi, meskipun pendidikan orang-orang kaya tersebut di daerahnya hanya setingkat SD atau SMP, namun hal itu tidak menghalangi mereka untuk bersaing dan berlomba mengumpulkan kekayaan.

Tampaknya kesan ini cukup kuat dipersepsi oleh masyarakat kita, terutama masyarakat miskin, sehingga pendidikan yang berkualitas jauh dari imajinasi mereka. Tidak mengherankan jika sejak kecil, anak-anak mereka sudah dipaksa untuk lebih memilih bekerja ketimbang sekolah.
Jika selama ini kita menyaksikan bahwa kemajuan peradaban suatu bangsa karena penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai produk pendidikan yang berkualitas, maka tidak ada pilihan bagi kita selain untuk terus memicu kesadaran masyarakat menyekolahkan anak-anaknya dan mendorong pemerintah untuk menyediakan lembaga pendidikan berkualitas. Kepedulian masyarakat akan pentingnya pendidikan harus pula didukung oleh kemampuan sumber daya ekonomi masyarakat. Hal ini menuntut pemerintah agar menyediakan sistem pendidikan berkualitas berikut anggaran operasionalnya sehingga masyarakat tidak terlalu berat menanggung biaya pendidikan anak-anaknya.

Tingkat pendidikan yang memiliki hubungan erat dengan kemiskinan harus menjadi paradigma baru program pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu, program jangka panjang pengentasan kemiskinan harus difokuskan pada bidang pendidikan sehingga seluruh masyarakat dapat mengenyam pendidikan yang memadai baik pendidikan formal maupun non-formal.

Read more...

  © Yanto Cah Garas Ngasem by ngasem-bojonegoro.blogspot.com 2007

Back to TOP